Kamis, 07 Oktober 2010

GELIAT MADRASAH DINIYAH DI BANTEN
(Sebuah Renungan)
Oleh: Hidayatullah

Pendahuluan
Memperbincangkan permasalahan pendidikan tidak akan pernah habis-habisnya. Karena kebutuhan terhadap pendidikan tidak pernah akan mati selama manusia itu masih hidup. Madrasah saat ini (termasuk madrasah diniyah) mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Walaupun perhatian tersebut masih jauh perbandingannya dengan sekolah umum. Namun itu tetap harus diapresiasi atau dalam bahasa agama harus disyukuri.
Perhatian pemerintah terhadap madrasah saat ini sebenarnya merupakan suatu bukti dari uji hipotesa yang membenarkan bahwa ternyata sumbangsih madrasah terhadap pembangunan masyarakat Indonesia sangatlah besar. Karena madrasah lahir sebagai kebutuhan masyarakat muslim saat itu untuk memberikan pendidikan dan pembinaan bagi putra-putrinya agar memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat sehingga dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik dan dapat pula menjaga kemuliaan agama dan martabat bangsa. Realitasnya, madrasah tanpa bantuan pemerintah pun tetap berkibar dan berjuang terus untuk membina kader-kader bangsa dan agama. Sekian lama madrasah berjuang dan sekian lama pula madrasah tidak banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Namun akhir-akhir ini, alhamdulillah perhatian itu mulai tumbuh.
Munculnya perhatian pemerintah terhadap madrasah seiring dengan semangat otonomi daerah yang digulirkan, dan tidak lepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang memasukkan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, jika saat ini madrasah mendapatkan perhatian pemerintah bukanlah suatu pemberian yang cuma-cuma melainkan hasil dari perjuangan dan perjalanan yang panjang. Maka tidaklah bijak, jika ada yang mengatakan bahwa adanya perhatian pemerintah dalam bentuk bantuan merupakan hadiah saja. Tetapi yang lebih tepat kiranya, bahwa bentuk-bentuk perhatian tersebut merupakan hak yang harus diterima madrasah sebagai bentuk keadilan kepada madrasah yang selama ini di “anak tirikan”. Karena madrasah juga merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sebagaimana tersurat dalam pasal 30 ayat 4 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas yang menyatakan bahwa Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan bahwa tujuan dari Pendidikan agama adalah mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, jelaslah bahwa peran agama adalah sangat besar dalam pembangunan bangsa.
Merujuk dari beberapa pemikiran di atas, maka bagaimana dengan perkembangan pendidikan agama khususnya madrasah diniyah di Banten? apakah sudah menunjukkan hal-hal yang menggembirakan atau bahkan masih dalam perjalanan yang terseok-seok jatuh bangun karena persoalan pembinaan yang kurang dan dengan serba keterbatasan sumber daya manusia dan biaya untuk pengembangan fisik maupun non fisiknya?

Madrasah di Era Otonomi Daerah
Perdebatan panjang yang melahirkan pro dan kontra terkait dengan kewenangan pengelolaan madrasah saat ini, mestinya tidak terus menerus dijadikan instrumen untuk mendikotomikan perhatian pemerintah terhadap madrasah. jika pemerintah benar-benar memiliki politicall will. karena sudah jelas pembagian kewenangan pembinaan dalam hal fisik dan non fisik. Disamping itu, bahwa pendanaan pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 46 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003)
Pro dan kontra terkait dengan ranah madrasah yang berada di bawah naungan Departemen Agama yang masih sentralistik pembinaannya, seharusnya tidak menciutkan pemerintah daerah untuk bisa memberikan perhatian yang lebih. Hal ini dimaksudkan agar kualitas madrasah juga bisa mengimbangi dengan pendidikan umum lainnya. Bukankah peserta didik yang ada di madrasah atau di sekolah umum juga warga negara Indonesia yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Masih banyak kalangan (terutama birokrasi) yang keengganannya memberikan perhatian lebih terhadap madrasah hanya dengan menggunakan alasan ”wilayah atau kewenangan” pengelolaan madrasah yang tidak diotonomikan seiring dengan ranah kewenangan masalah agama. Walaupun itu memang betul, tetapi tidakkah ada cara lain yang dilakukan dan tetap sesuai aturan (halal dan tidak dianggap korupsi)?.
Pandangan tersebut sebagaimana diungkapkan Mulyasa (2004:23), bahwa implikasi dari adanya desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efesiensi serta efektifitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah, kepegawaian yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan
Kerangka otonomi daerah dan otonomi pendidikan yang sudah bergulir selama ini seharusnya menjadi “nafas, semangat dan ruh” yang dapat memberikan perhatian lebih pada madrasah. Kabupaten atau Kota sebagai daerah otonom semestinya dapat mengatur dan mengelola kewenangannya untuk mengedepankan kekhasan daerahnya masing-masing. Serang (Kabupaten atau Kota) atau kabupaten dan kota lainnya di Propinsi Banten ini tentunya memiliki akar budaya yang sama yaitu sebagai masyarakat yang agamis. Oleh karena itu, untuk mempertahankan nilai-nilai agama agar tetap terjaga, maka pembinaan melalui pendidikan agama yaitu madrasah adalah suatu keniscayaan. Madrasah yang dimaksud adalah Madrasah Diniyah. Mengapa demikian? Karena Madrasah Diniyah adalah lebih memfokuskan pembelajarannya pada pendidikan keagamaan. Namun jangan hanya dipahami pendidikan MD tersebut sebagai suplemen saja.
Pendidikan keagamaan seperti Madrasah Diniyah pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. dan lagi-lagi perlu diingat bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.

Lahirnya peraturan daerah tentang Madrasah Diniyah Awaliyah di beberapa Kabupaten di Banten dan atau yang sedang mewacanakan lahirnya perda tersebut adalah menjadi suatu bukti bahwa telah munculnya kesadaran dari masyarakat (melalui DPRD) dan pemerintah daerah untuk benar-benar memperhatikan pendidikan agama yang dikelola oleh madrasah diniyah awaliyah. Dan hal ini juga, harus menjadi instrumen yang memberikan semangat bagi para guru dan pengelola madrasah diniyah untuk dapat meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan di madrasah tersebut. Walaupun benar adanya, jika produk-produk perda tersebut adalah jangan sampai bertentangan dengan paraturan perundangan yang di atasnya.
Berasarkan hasil penelitian yang saya lakukan tahun 2007 tentang kebijakan pemerintah daerah kabupaten Serang tentang Perda Diniyah, ada hal menarik untuk dicermati bahwa lahirnya Perda Diniyah tersebut tidaklah banyak memberikan implikasi yang luar biasa. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa persoalan pendidikan agama (MDA) di Banten adalah sudah mengakar sejak lama. walaupun kelahiran Perda tersebut disamping sebagai kebijakan politik yang diiniasi oleh anggota legislatif juga merupakan langkah prefentif, karena ternyata pula sudah banyak anak usia sekolah yang masih belum bisa membaca tulis al-qur’an.

Menjaga Akuntabilitas
Dengan adanya perhatian pemerintah terhadap madrasah, seperti subsidi dalam bentuk honor, bangunan, meubeler dan atau yang lainnya adalah harus dipahami semuanya itu merupakan amanat. Sehingga harus tetap dilaksanakan dan dijaga dengan baik. Akuntabilitas itu penting, sebagai bagian dari nilai-nilai pendidikan agama itu sendiri.
Bagi guru yang diberikan subsidi tunjangan (honor) diharapkan dapat menjadi spirit untuk mengajar lebih giat dan lebih baik. Walaupun bantuan tersebut tidak seberapa. Tapi sebagai orang yang beragama, itu harus disyukuri. Semoga ada penambahan dan peningkatan (baca Qs. Ibrahim). Demikian pula bagi madrasah yang diberi bantuan fisik lainnya. Jangan diselewengkan atau dialihkan bantuannya, lebih-lebih jika ada pemotongan dari yang menyalurkan dengan dalih sudah ada kesepakatan dengan kepala madrasah.
Kalau ada yang memberikan bantuan kepada madrasah, terkadang ada yang menyinggung soal keikhlasan. Padahal kalau kita mempermasalahkan itu, adalah akan kecela sendiri. Betapa tidak, karena keikhlasan guru-guru madrasah adalah luar biasa, tanpa bantuan dari pemerintah sekalipun dan terkadang uang bulanan siswa juga tidak lancar, guru madrasah masih tetap mau melaksanakan tugasnya dalam mengajar. Walaupun ada juga yang tidak seperti demikian. Lebih-lebih jika sindiran itu selalu muncul dari lembaga yang membina madrasah, padahal mereka juga jarang atau bahkan tidak pernah melihat kondisi sebenarnya di madrasah.
Adanya perhatian pemerintah dalam bentuk bantuan-bantuan tersebut, jangan kemudian mematikan semangat partisipasi masyarakat terhadap madrasah yang selama ini telah menjadi nafasnya. Namun justru untuk lebih meningkatkan perhatian dari seluruh pihak. Dan jangan pula bantuan-bantuan tersebut dijadikan alat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan bantuan dengan cara beramai-ramai mendirikan madrasah padahal tidak dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Akhir-akhir ini marak demonstrasi fisik dan non fisik mengenai bantuan pemerintah terhadap madrasah baik yang berupa subsidi pada guru maupun fisik bangunan. Sejatinya tujuan baik pemerintah tidak dijadikan instrumen yang menjadi pro kontra yang akibatnya mengesankan citra yang kurang baik bagi yang menerima maupun yang manjadi fasilitator penyalur bantuan tersebut. Sehingga dampaknya adalah pada lembaga pendidikan madrasah itu sendiri. Budaya berbaik sangka, budaya tanggung jawab dan amanah harus menjadi ruh dalam pengeolaan anggaran maupun pembelajaran di MDA.

Pendidikan Berbasis Masyarakat
Jika kita melihat sejarah madrasah maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa madrasah adalah benar-benar suatu lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat. Dan ini yang sedang gencar-gencarnya diwacanakan dalam pengelolaan pendidikan seperti manajemen berbasis sekolah atau madrasah (MBS/M) dan Pendidikan berbasis masyarakat (Broad Based Education). Madrasah sejak awal kelahirannya sesungguhnya telah menerapkan konsep-konsep tersebut. Betapa tidak, tanpa perhatian pemerintahpun madrasah bisa eksis karena besarnya dukungan masyarakat, dan baru setelah terbitnya SKB 3 menteri tentang pembinaan madrasah dan dikuatkan dengan UU No. 2 tahun 1989, PP no. 28 dan 29 tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan menengah dan UU no. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas madrasah mendapatkan perhatian pemerintah serta dengan keluarnya PP no 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sebagai pendidikan yang berbasis masyarakat, maka perhatian dan dukungan masyarakat adalah menjadi yang utama. Sementara dukungan dan perhatian pemerintah justru harus dijadikan stimulus baru untuk meningkatkan kualitas madrasah. Sehingga tanggung jawab dari segi tiga pilar (pengelola madrasah, masyarakat dan pemerintah) tersebut harus menjadi kekuatan pendukung peningkatan mutu pendidikan di madrasah. Jangan menjadi terbalik. Indikasi tersebut dapat kita rasakan pada akhir-akhir ini. Sehingga segalanya seolah dibebankan kepada pemerintah.
Sebagai contoh, dengan dalih adanya BOS/BOM, maka pengelolaan pendidikan dibebankan pada bantuan tersebut. Padahal untuk meningkatkan kualitas pendidikan masih belum tercukupi oleh bantuan tersebut. Namun pada sisi yang lain, ketika kualitas pendidikan rendah sasaran yang dipersalahkan adalah pada lembaga pendidikan.

Penutup
Jika kita mau konsisten dengan amanat undang-undang, mestinya dikotomi-dikotomi pada pengelolaan lembaga pendidikan sudah harus ditinggalkan. Misalnya dikotomi sekolah kota dan desa, negeri dan swasta, depag dan diknas. Walaupun kapling-kapling tersebut masih susah dibedakan bagi lembaga-lembaga teknis. Padahal UUD 45 telah tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara termasuk masalah kualitasnya baik fisik maupun non fisik. Namun bagaimana dalam realitasnya? Adalah harus menjadi kesadaran bersama seluruh stakeholder bahwa investasi pendidikan adalah menjadi usaha bersama (masyarakat, pemerintah, swasta). Sehingga tidak lagi muncul ”pungli-pungli” dan ”eksploitasi ataupun kapitalisme” dalam dunia pendidikan.
Pendidikan pada madrasah diniyah khususnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang memberikan dasar-dasar keagamaan bagi siswa yang beragama islam sudah dirasakan besar manfaatnya. Oleh karena itu, pendidikan pada lembaga tersebut tidak dikesankan sebagai pendidikan yang hanya semata-mata suplemen dari sekolah dasar (umum). Walaupun memang betul bahwa pendidikan agama non formal merupakan penguat dari kekurangan materi keagamaan yang diajarkan di sekolah (umum). tapi tidak lantas menjadi formalitas atau bahkan rutinitas dengan tidak diupayakan peningkatan kualitas pembelajarannya. Karena kedua-duanya adalah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dan nampaknya perkembangan madrasah (diniyah) sekarang ini mulai berkembang pesat dari segi jumlah, sebagai ilustrasi di Kabupaten Serang pada bulan Juni tahun 2005 berkembang pesat ketika perda diniyah lahir pada tahun 2006 menjadi 1000 lebih dan bahkan sekarang sudah hampir mencapai 1500. akan tetapi dari sisi kualitas masih perlu juga diperhatikan. karena peningkatan jumlah tersebut sebenarnya masih banyak yang belum memperhatikan aspek kualitas dari segi pengelolaan maupun ketersediaan sarana yang memadai. Semoga!

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar