Kamis, 07 Oktober 2010

Komersialisasi atau Pemerataan Pendidikan

FENOMENA KELAS JAUH
( PEMERATAAN PENDIDIKAN ATAU KOMERSIALISASI?)
Oleh: Hidayatullah

A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini telah berkembang animo masyarakat yang cukup tinggi terhadap minat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tingg (pendidikan tinggi). Pada satu sisi kondisi ini merupakan sesuatu yang membanggakan, akan tetapi pada sisi yang lain juga menjadi suatu yang mengkhawatirkan, karena animo tersebut ternyata seiring dengan maraknya pendidikan tinggi dengan sistem kelas jauh dan kuliah sabtu – minggu.
”Menjamurnya” lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menjadi ”buah bibir” yang kontroversial. Padahal semestinya perdebatan tersebut tidak harus terjadi, karena secara eksplisit tidak ditemukan dalam teks undang-undang sistem pendidikan nasional tentang ”kelas jauh” tersebut yang ada hanyalah pendidikan jarak jauh. Namun pada prakteknya, kelas jauh ini benar-benar ”merajalela” berkembang di masyarakat. Dan masyarakat juga merespon dengan cukup tinggi.
Fenomena ini tentunya menjadi dilematis, pada satu sisi kelas jauh adalah tidak diperkenankan dalam perundang-undangan, namun pada sisi yang lain menjadi kebutuhan, karena adanya kebutuhan dan permintaan masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terjangkau dan tidak mengganggu pekerjaan atau profesinya. Dari persoalan ini, adakah benang merah yang menjadi garis pemisah antara makna kebutuhan dan permintaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi yang dapat mereka jangkau dan makna penawaran yang menggiurkan dari para pengelola pendidikan kelas jauh terhadap para peminat? Inilah nampaknya yang harus dicermati.
Dilema pendidikan kelas jauh terkait dengan banyaknya permintaan (peminat) untuk mengikuti pendidikan tersebut dan penawaran (penyelenggara) yang memberikan banyak kemudahan-kemudahan adalah salah satu yang menjadi dasar alasannya adalah suatu kenyataan bahwa wilayah indonesia adalah sangat luas dengan kondisi geografis dan budaya yang berbeda. Atas dasar kondisi yang demikian itulah, tentunya memerlukan berbagai layanan pendidikan yang dapat menjangkau dan menyentuh daerah-daerah di pedalaman dan pelosok tanah air dengan biaya dan waktu yang relatif terjangkau agar warganya dapat menikmati pendidikan. Akan tetapi pada sisi alasan lain yang bersifat akademik semestinya juga jangan diabaikan. Karena akan berdampak pada penilaian yang kurang baik terhadap pelaksanaan sistem pendidikan perguruan tinggi kita.
Undang-undang dasar memang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara untuk mendapatkannya. Dan oleh karenanya negara berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut?. Pada kenyataannya, apakah negara telah memenuhi tuntutan tersebut atau belum? Jika belum, apakah partisipasi masyarakat dalam membantu kewajiban pemerintah tersebut adalah harus dilarang seperti halnya dengan pelaksanaan pendidikan dengan sistem kelas jauh? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang harus juga menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Sehingga upaya-upaya yang dilakukannya tidak lantas membuat permasalahan baru bagi pemerintah dan masyarakat sendiri terhadap dunia pendidikan.
Jika kita cermati, bahwa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan di antaranya melalui pendidikan jarak jauh (distance learning). Pendidikan jarak jauh pada awalnya sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, seperti melalui Belajar Jarak Jauh (BJJ) yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka (UT) maupun Pendidikan jarak Jauh (PJJ) yang dikembangkan oleh Pustekkom Diknas. Akan tetapi fenomena yang muncul sekarang ini, tidak hanya pendidikan jarak jauh yang gencar dilakukan melainkan pula pendidikan dengan kelas jauh.
Yulaelawati berpendapat bahwa Pendidikan merupakan jembatan untuk membuka kebuntuan akses dan menempatkan kelompok masyarakat terbelakang kepada wilayah pencerahan yang dapat membebaskan komunitas masyarakat yang berada di pedalaman dan jauh dari gemerlap serta hiruk pikuk kota. Melepaskan belenggu serta jerat kebodohan dan kemiskinan merupakan agenda politik pendidikan yang dapat menjadikan dunia tanpa batas (baca: Suara Pembaruan, 2006). Karena pada hakekatnya belajar memang tidak mengenal istilah batas waktu dan tempat, belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja (live long education atau pendidikan sepanjang hayat).
Dari permasalahan di atas, adakah differensiasi antar konsep pendidikan kelas jauh dengan pendidikan terbuka dan jarak jauh? Serta apa yang melandasi pelaksanaan kedua model sistem pendidikan tersebut?


B. Pendidikan Jarak jauh dan Kelas Jauh
Secara terminologi, tentunya ada perbedaan makna antara kelas jauh dengan sistem pendidikan jarak jauh. Istilah ”jarak jauh” dalam definisi ”pendidikan jarak jauh” berarti proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka (walaupun dalam prakteknya dilakukan juga dengan sistem turorial tatap muka), melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) ataupun non cetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi). Oleh karena itu, karakteristik utama pendidikan jarak jauh (Rusfidra, 2007) yaitu: (a) adanya pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; (b) penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio, dan komputer) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; (c) peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; (d) tersedianya komunikasi dua arah sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan berkomunikasi; (e) tidak adanya proses belajar kelompok secara klasik; f) adanya bentuk industrialisasi pendidikan, dan (g) individualisasi proses belajar (belajar mandiri).
Terkait dengan pendidikan jarak jauh, Undang-undang Sisdiknas (pasal 31 ayat 2, dan 3) menjelaskan bahwa ”Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Dengan demikian, pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi dan media lain.
Teori mengenai sistem pendidikan jarak jauh pada umumnya didasarkan pada dua paradigma pemikiran mengenai pendidikan, yaitu akses dan kualitas (Garrison, 1993 dalam Belawati, 2000). Kedua paradigma ini yang mewarnai praktik pendidikan jarak jauh yang ada. Paradigma pertama, akses, merupakan isu sentral dalam perdebatan pendidikan jarak jauh di masa lalu. Keinginan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan telah menajdi pemicu utama di banyak negara untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Paradigma ini sejalan dengan filosofi mengenai otonomi dan kemandirian mahasiswa dalam melakukan kegiatan belajarnya selama bahan belajar telah dikembangkan dengan baik, yang kemudian lahir sistem belajar mandiri dan mastery learning. Paradigma kedua, kualitas, bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, baik antar mahasiswa dengan tutor, mahasiswa dengan mahasiswa maupun mahasiswa dengan pengelola PJJ. Untuk itu, kualitas proses pembelajaran tersebut harus menjadi perhatian penting. Karenanya dalam sistem PJJ interaksi mahasiswa dengan tutor dilakukan baik secara tatap muka maupun melalui media lain seperti surat-menyurat, telepon, ataupun dengan internet.
Sebagai suatu sistem pendidikan, sistem pendidikan Jarak jauh memiliki tiga subsistem utama (Belawati, 2000) yaitu: subsistem masukan (input), proses, dan keluaran (output). Pada subsistem masukan proses pengelolaan sistem PJJ dimulai dengan melakukan identifikasi dan penerimaan mahasiswa, pengembangan program pembelajaran, serta pengembangan bahan ajar. Pada subsistem proses pengelolaan meliputi penyampaian atau pengiriman bahan ajar kepada mahasiswa, pemberian layanan bantuan belajar serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar mahasiswa. Sedangkan pada subsistem ketiga, pengelolaan meliputi evaluasi lulusan dan evaluasi keseluruhan program yang dilakukan. Prinsip pelaksanan pada ketiga subsistem tersebut dilakukan dengan menerapkan perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pemantauan serta evaluasi melalui kegiatan penelitian (baca kawasan teknologi pendidikan). Dan sebagai institusi pendidikan tinggi, keseluruhan program harus dapat memberikan kontribusi pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat di mana PT itu berada.Berbeda dengan kelas jauh.
Kelas jauh biasanya diselenggarakan pada tempat dan proses yang berbeda jauh dengan lembaga asalnya. Di luar negeri memang terdapat model belajar kelas jauh namun kultur akademik tetap dijaga, dan ini berbeda dengan yang banyak terjadi di Indonesia yang sering disalahgunakan, karena orientasinya kebanyakan untuk kepentingan mendapatkan ijazah semata. Sehingga prosesnya serba instan dan dengan memberikan berbagai kemudahan.
Terkait dengan kelas jauh ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional ( Ditjen Dikti Depdiknas ) menyatakan bahwa tidak pernah memberikan ijin kepada lembaga perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kelas jauh yaitu kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di luar kampus induk baik dikemas dalam bentuk kerjasama maupun dalam bentuk lainnya. Berkaitan dengan perkuliahan yang dilakukan dengan metode kelas jauh ini walaupun dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang sudah terakreditasi, Ditjen Dikti tidak membenarkan dan melarangnya, karena dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap kaidah/norma/hakekat pendidikan tinggi.
Senafas dengan pendidikan kelas jauh, juga tidak dibenarkan Perguruan Tinggi menyelenggarakan ”Kelas eksekutif” (Sabtu- Minggu), karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan norma dan kaidah penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga lulusan yang dihasilkan tidak memenuhi standar mutu lulusan perguruan tinggi. Dan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan ”Kelas Jauh” dan ”Kelas Eksekutif” tidak dapat digunakan atau tidak memiliki ”civil Effect” terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi pegawai negeri. Demikian pernyataan atau edaran yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti Depdiknas terkait dengan pelaksanaan kelas jauh. Akan tetapi mengapa sampai saat ini masih saja berkembang di masyarakat?
Pelaksanaan kelas jauh di Indonesia dicontohkan oleh Sukyadi (2005) misalnya sebuah universitas di kota X membuka kelas di kota Y. Karena jarak yang jauh, sedangkan biaya harus tetap terjangkau, penyelenggaraannya biasanya mengorbankan aspek akademis. Jika satu semester menurut standar 16 kali pertemuan, biasanya dikurangi hingga 4 atau 8 pertemuan saja. Selain itu, dosen dari universitas X biasanya hanya datang beberapa kali saja, sehingga kualitas akademiknya jauh di bawah standar.
Keberadaan kelas jauh memang terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Hal ini terutama karena masyarakat kita masih mengagungkan gelar akademis walaupun dicapai melalui jalan pintas. Inilah permasalahan khusus di Indonesia. Lebih-lebih penambahan gelar akademik terkait dengan kenaikan karier yang berarti juga uang. Praktek-praktek yang demikianlah kemudian dijadikan alasan mengapa dikti melarang pelaksanaan pendidikan kelas jauh.

C. Pergeseran Komitemen Pendidikan
Maraknya penyelenggaraan program pendidikan dengan menggunakan sistem kelas jauh menunjukkan adanya indikasi longgarnya pengawasan yang dilakukan pemerintah maupun lembaga yang berkompeten untuk melakukan kegiatan tersebut. Lemahnya kontrol terhadap proses akademik dalam penyelenggaraan pendidikan pada akhirnya dapat menurunkan kualitas lulusan. Karena orientasi yang akan muncul bagi peminat adalah bagaimana mereka memperoleh secarik kertas(ijazah) dengan waktu yang secepatnya, sehingga dapat dengan cepat pula menyesuaikan diri untuk kepentingan peningkatan pangkat-jabatan (bagi PNS) atau prestise di masyarakat (bagi non- PNS), sementara bagi penyelenggaranya adalah bagaimana dapat merekrut sebanyak-banyaknya peminat dan meluluskan dengan secepat-cepatnya sehingga mendapatkan keuntungan secara ekonomi yang sebesar-besarnya, karena segala kebutuhan pembelajaran (pembiayaan perkuliahan tatap muka) dapat diefesiensikan. Demikianlah jika prinsip ekonomi yang digunakan sebagai paradigma berpikirnya. Sementara aturan dan norma akademik akan terabaikan.
Pemikiran tersebut, tentunya tidak sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai proses pembudayaan dan juga tujuan pendidikan nasional yang menghendaki adanya ”kecerdasan bangsa” yang dilandaskan pada pancasila dan UUD 1945 serta pula bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan tinggi.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pelaksanaan ”kelas jauh” dan model perkuliahan Sabtu-Minggu sebenarnya telah dilarang oleh pemerintah dan ijazahnya juga tidak diakui untuk pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir atau penyetaraan bagi PNS, TNI dan Polri. Larangan tersebut tertuang melalui surat edaran Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti nomor 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007. Alasan larangan tersebut dikarenakan bertentangan dengan PP nomor 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi, namun realitasnya praktek-praktek tersebut masih banyak tumbuh subur di masyarakat.
Larangan tersebut dalam pandangan Suharyadi (Ketua Aptisi) memang disayangkan, dengan alasan bahwa praktek pembelajaran Sabtu-Minggu tidak dapat digeneralisir bagi PT yang melaksanakannya sesuai dengan rambu-rambu dan kaidah kepatutan akademik, lebih khusus lagi jika untuk jenjang S2-S3, akan tetapi bagi S1 mungkin saja karena banyaknya bebas sks yang harus ditempuh. Dasar alasan Suharyadi tersebut, telah pula terlontar dari statemen Mendiknas yang mengatakan boleh-boleh saja penyelenggaraan kelas jauh sejauh ia berdasar pada aturan yang berlaku. Karena jika ada penyelenggara yang menyalahgunakan dapat ditindak sesuai dengan ketentuan undang-undang, seperti gelar palsu dan lain sebagainya (baca sisdiknas pasal 21).
Terlepas dari pro kontra tersebut di atas, jika praktek-praktek pendidikan dengan sistem kelas jauh merupakan bentuk ketidak taatan dalam melaksanakan aturan perundangan-undangan, dan hanya sebagai bentuk ”orientasi bisnis pendidikan” semata, maka jelas ini adalah berbahaya bagi pelaksanaan sistem pendidikan nasional kita, dan ini merupakan suatu indikasi adanya pergeseran komitemen dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang berarti pula terjadi semacam bentuk ”pengkhianatan” terhadap semangat dan cita-cita pendiri bangsa ini. Karena Pergeseran komitemetn ini dampaknya adalah pada penurunan kualitas lulusan.
Penyelengaraan pendidikan dengan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan akses layanan pendidikan kepada masyarakat yang berada di desa maupun pedalaman serta bagi mereka yang kurang memiliki banyak waktu untuk dapat menikmati pendidikan secara ”normal” atau reguler. Dengan demikian, maka sudah seharusnya tujuan pemerataan akses pendidikan kepada anak bangsa dapat dilaksanakan dengan ”jalan yang benar” sehingga tidak merugikan citra bangsa dan anak bangsa (sebagai lulusan dari lembaga pendidikan tersebut). Bukan sebaliknya, pelaksanaan pendidikan dengan sistem ”kelas jauh” hanya demi kepentingan ”uang” yang berarti melakukan komersialisasi pendidikan. Tidakkah hal ini berbahaya?
Sejatinya, bahwa pendidikan adalah sebagai proses pembudayaan. Pembudayaan dalam hal penanaman nilai-nilai ideologi suatu bangsa yang beragama dan berbudaya, penanaman idealisme suatu bangsa yang bermartabat dan juga suatu proses sosialisasi diri dalam rangka pengembangan kemampuan intelektual, emosional dan spritual. Sehingga cita-cita ”founding father” bangsa ini dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan sosial dapat tercapai melalui peningkatan akses dan partisipasi pendidikan warganya.


D. Penutup
Adanya pro kontra dalam penyelenggaraan kelas jauh sebenarnya tidak serta merta kesalahan satu pihak, melainkan juga karena bangunan sistem dan kesadaran masyarakat yang belum seirama dan bahkan cenderung berpikir ”ekonomis”. Oleh karenanya mesti ada komitement bersama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat terwujud dengan baik.
Untuk itu pulalah maka mesti ada kontrol yang ketat dari pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan. Pemerintah sebagai pembuat regulasi dan yang bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan di negeri ini seyogyanya dapat mengontrol aturan yang telah dibuatnya disamping pula melakukan pembinaan. Sehingga penyelenggara pendidikan tidak berfikir untuk mencari keuntungan ekonomi semata, karena pendidikan adalah invenstasi masa depan. Sementara itu, masyarakat juga hendaknya tidak berpikir yang serba instan dan kepentingan sesaat, tetapi akhirnya mengorbankan mutu. Oleh karena alasan adanya supplay and demond semestinya tidak kemudian menjustifikasi kesalahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan.
Di samping ada pengawasan dan larangan terhadap penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan aturan, maka harus dilakukan sanksi yang tegas dari pihak pemerintah pada semua level, sehingga penyelenggaraan sistem pendidikan tinggi di negeri ini akan dilaksanakan berdasarkan aturan yang berlaku. Karena harus diakui bahwa pemerintah juga belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan masyarakat akan kebutuhan pendidikan secara adil.
Namun demikian, karena pendidikan adalah hak setiap warga negara, maka kewajiban setiap warga negara pulalah kiranya untuk saling menjaga dan memelihara cita-cita perjuangan pendiri bangsa ini agar seluruh warganya dapat menikmati pendidikan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, sebagai bentuk ketaatan warga negara dalam penegakan supremasi hukum. Karena kita berada di bawah negara hukum.

Wallahu a’lam.


Daftar Bacaan:
1. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
2. PP nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
3. Belawati, Tian, Prinsip-prinsip Pengelolaan Pendidikan Terbuka dan jarak Jauh, jakarta PAU UT, 2000
4. http://www.Suara pembaruan.com ”Dilarang, Kuliah Sabtu- Minggu” 2006.
5. http://www.Suara pembaruan.com ” melepasan belenggu kebodohan melalyu pendidikan jarak jauh”, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar