Kamis, 07 Oktober 2010

MUTU PENDIDIKAN DI ATAS KETIDAK ADILAN KEBIJAKAN
Oleh: Hidayatullah


ABSTRAK

Kecenderungan penilaian masyarakat akan mutu pendidikan masih tertuju pada seberapa besar dan tinggi nilai lulusan (output) suatu lembaga pendidikan dalam perolehan nilai Ujian Akhir Nasionalnya. Masyarakat terkadang lupa bahwa pencapaian hasil tersebut adalah tidak lepas dari sejauhmana proses pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tersebut serta bagaimana pula inputnya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kualitas suatu lulusan adalah sangat dipengaruhi oleh kualitas proses dan inputnya, termasuk sarana-prasana pembelajaran yang dimiliki sekolah dan juga partisipasi orang tua atau masyarakat dalam menunjang semua kebutuhan belajar siswa di sekolah.

Permasalahan-permasalahan seperti yang tersebut di atas, juga ditambah lagi dengan masih adanya ketidak adilan kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap pemberian subsidi dana maupun sumber daya manusia lainnya yang membedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sehingga semakin tajamlah perbedaan mutu pendidikan antara sekolah-sekolah swasta dan negeri, sekolah di perkotaan dan pedesaan. Sementara tagihan mutu pendidikan oleh pemerintah tidak membedakan antara sekolah-sekolah tersebut.

Keyword: Mutu Pendidikan, Keadilan, Kebijakan Pendidikan

A. PENDAHULUAN
Persoalan yang senantiasa menjadi sorotan dalam dunia pendidikan kita adalah masih saja pada seputar kualitas output (lulusan) yang ditandai dengan rendahnya standar nilai ujian akhir nasional yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya standar ini secara tidak langsung menggambarkan harapan kita terhadap kualitas lulusan yang rendah pula. Namun demikian di sisi lain ternyata bahwa, sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan sangat "resah" dengan adanya aturan penetapan standar kelulusan siswa tersebut, mengingat kualitas prosesnya yang masih belum dapat menjamin pencapaian angka standar.
Standar 5,0 memang suatu angka yang relatif sangat rendah untuk dapat diterima sebagai suatu gambaran terhadap kualitas hasil dari proses pendidikan yang diharapkan. Namun demikianlah realitas yang ada. Sementara bagi sebagian besar pihak praktisi di lapangan yang sangat memahami kualitas proses yang dilakukan menganggap itu (baca; 5,0) sebagai standar yang sangat tinggi untuk dapat dicapai oleh para siswanya.
Padahal, standar 5,0 yang diatur oleh pemerintah tidak didasarkan atas target mutu hasil yang dicita-citakan. Akan tetapi lebih merupakan hasil penyesuaian terhadap kenyataan di lapangan. Dan Penetapan angka 5,0 ini tidak dapat memberikan cukup energi bagi para praktisi untuk memacu kinerja dan meningkatkan kualitas proses pendidikan. Apalagi untuk mencapai standar tersebut masih adanya rekayasa dalam proses pelaksanaan ujian baik oleh pengawas ujian maupun oleh panitia ujian atau guru. Sehingga kita tidak pernah benar-benar dapat memperoleh gambaran tentang mutu hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan.
Meski demikian ada juga sebagian kecil sekolah yang dapat melampaui standar yang ditetapkan pemerintah dengan mudah. Hal ini menggambarkan adanya disparitas mutu pendidikan, dan kenyataannya memang disparitas yang terjadi cukup tajam. Ketika misalnya kita mencoba membandingkan antara sekolah negeri dengan swasta, kemudian antara sekolah yang berada di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan yang berada di bawah Departemen Agama, maka terlihat dengan jelas terjadi perbedaan yang sangat tajam dari aspek kulitas proses dan kualitas hasil.
Persoalan disparitas dalam aspek kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan ini, di samping faktor-faktor yang lain, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan bidang pendidikan. Hal ini (ketidak adilan dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga pendidikan swasta (private education) misalnya dalam distribusi bantuan anggaran biaya operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah, distribusi bantuan baik yang berbentuk pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi pemberian beasiswa, distribusi peluang dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan, dan lain sebagainya.
Persoalan ketidak adilan pemerintah ini bahkan juga dirasakan sangat jelas oleh para guru terutama oleh mereka yang berada di sekolah-sekolah swasta, misalnya dalam mengakses peluang dan kesempatan bahkan informasi untuk membina dan meningkatkan karir profesi keguruan. Demikian juga lembaga pendidikan swasta selama ini sering menjadi obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan.
Di sisi lain pada sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya operasional, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang lain) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.
Terhadap persoalan distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang sangat nyata baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri. Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat antar masyarakat (lembaga pendidikan) itu sendiri.
Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku & alat pembelajaran, semua tahu terjadi ketimpangan yang luar biasa, misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat buku-buku dan alat pembelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.
Dalam distribusi beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa keadilan, misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena kemampuan/prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi.
Kemudian dalam hal distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat ketidak adilan misalnya, untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang menjadi sasaran utama adalah guru-guru/sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian. Sehingga pemahaman tentang kurikulum/sistem pendidikan dan berabagai kebijkan di bidang pendidikan kurang komprehenship untuk dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di sekolah-sekolah swasta.
Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu baik di sekolah swasta maupun negeri semuanya adalah anak bangsa, warga negara yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 termasuk hasil amandemen.
Kenyataan ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendidikan telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik.
Implikasi yang nyata dari ketidak adilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbada secara kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga guru (SDM), serta finansial.
Dari gambaran di atas, bijaksanakah pemerintah menagih janji mutu pendidikan sementara ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan masih terus berjalan? Nampaknya tidaklah fair manakalah kompetisi dilaksanakan dalam situasi yang kurang fair pula.


B. Ketidak adilan Kebijakan Pendidikan
Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, adalah isu sentral yang secara kodrati telah melekat dalam bingkai keinginan manusia. Para pendiri negara yakin, bahwa dengan bersatunya individu dalam naungan institusi, maka kepentingan tersebut di atas akan lebih mudah diwujudkan. Meskipun di tengah keyakinannya mereka sadar bahwa untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu masih membutuhkan kajian-kajian intensif dengan pisau analisis yang kritis. Sebab pencapaian cita-cita negara bisa dikatakan berada dalam kerangka evolutif.
Pemikiran tentang “Evolutif” kemudian melahirkan poin penting, bahwa perjalanan ke depan harus dikawal oleh nilai-nilai ideal agar tidak keluar dari koridor perencanaan semula. Pengawalan yang dimaksud adalah sebuah landasan normatif yang kelak akan dijadikan acuan dalam menentukan gerak langkah atau sebagai patron pergerakan. Landasan normatif ini kemudian dikenal dengan istilah ”konstitusi“.
Di Indonesia misalnya, konstitusi negara adalah UUD 1945. landasan ini berada di atas puncak menara hierarki dari segala aturan yang berlaku. Maksudnya, segala Undang-undang yang lahir kemudian tidak boleh bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekwensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.
Disamping itu pelaksanaan kebijakan yang ada masih tampak belum adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menerapkan amanat konstitusi terutama menyangkut alokasi dana pendidikan. Lemahnya kemauan politik pemerintah tersebut, tampak tidak dipersoalkan oleh DPR dan Parpol. Ke depan agar supaya kebijakan pendidikan bersifat efektif, kontrol DPR dan Parpol harus kuat dan konsisten. Masyarakat juga harus melakukan tekanan (pressure) terus menerus. Hal ini penting karena ada kecenderungan kemauan dan kontrol serta tekanan tersebut lemah karena didominasi oleh pemilik modal (kuasa ekonomi).
Seperti pendapat John Rawls dalam Theory of Justice (1971), selain mengandung makna kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, keadilan juga mengandung manfaat dan kebajikan (ethic). Kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, mengandung prinsip persamaan hak dan kewajiban dalam situasi sama. Tetapi, jika kesamaan itu berakibat ketidaksamaan keuntungan, terutama jika mengakibatkan kurang beruntungnya pihak yang lemah, maka agar adil perlu ada pemihakan tegas kepada yang lemah.
Adalah John Dewey ( dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting. Kemampuan partisipasi politik warga negara ini diperlukan agar demokrasi dalam arti pemerintahan dari mereka yang diperintah bisa berkembang secara maksimal. Karena kalau hanya mempercayakan kepada para pelaku dalam sistem politik dirasa kurang efektif. Lebih-lebih dewasa ini ada kecenderungan melemahnya moralitas publik di kalangan pejabat publik/ politisi. Melemahnya moralitas publik ditandai dengan merembaknya ‘demokratisasi korupsi’. Begitu pula dalam konteks otonomi daerah, ruhnya ada pada partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di daerah masing-masing.Tanpa partisipasi masyarakat otonomi itu akan mati. Dengan kata lain demokrasi itu dapat diumpamakan sebagai jiwa dan otonomi daerah itu adalah pengejawantahannya. Dengan tingginya partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dapat mendorong pada terwujudnya pemerintah yang transparan dan akuntabel. Pemerintah yang demikian merupakan pemerintah yang demokratis, dekat dengan rakyat sehingga menjadi perekat bangsa.
Sedangkan pentingnya pendidikan demokrasi antara lain dapat di lihat dari nilai – nilai yang terkandung di dalam demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi.
Terkait dengan masalah demokrasi pendidikan ini, telah jelas dinyaakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dan dalam pasal 11 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ayat (1) juga dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dari konsideran undang-undang Sisdiknas tersebut, jelaslah bahwa perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah tidak dibenarkan, lebih-lebih dalam sistem pendidikan. Karena semuanya itu adalah merupakan hak asasi dari seluruh warga negara untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Dan perlu disadari pula bahwa jika perlakuan dalam dunia pendidikan saja telah mengalami perlakuan yang diskriminatif, maka bagaimana aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bukankah itu bagian dari pengamalan nilai-nilai pendidikan yang diperoleh dari lembaga pendidikan.
Pendidikan kita boleh dikatakan sedang berada di era dikotomi. Pembedaan oleh pemerintah maupun masyarakat seperti tercermin dalam pemberian status terakreditasi versus tidak terakreditasi, unggul vs tidak unggul, modern vs konvensional, mahal vs murah, dan favorit vs tidak favorit, berpotensi menumbuhkan diskriminasi sosial yang tidak berkeadilan.
Sebagai bangsa yang memiliki unsur keragaman sistem sosial, aneka dikotomi adalah sah-sah saja dibuat. Masalah menjadi lain saat aneka kebijakan pemerintah di bidang pendidikan cenderung memberi ruang gerak sebagian kecil masyarakat kelas menengah ke atas untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin; mengabaikan kepentingan serta hak orang-orang miskin yang kian terpinggirkan oleh ketidakberdayaannya. Keadilan menjadi barang yang harus diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat miskin.
Fenomena ini dengan mudah bisa kita lihat. Kenyataan kini, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas "akselerasi" dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomis, dan nyaris tidak ada akses bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, rendahnya nilai ujian (kemampuan akademik) anak-anak miskin, tidak terlepas dari faktor rendahnya kualitas hidup orang-orang miskin. Kalaupun ada sebagian kecil anak-anak keluarga miskin yang mampu berkompetisi, mereka mendapatkannya dengan usaha atau kerja keras berlipat ganda daripada usaha yang dikeluarkan anak-anak keluarga kaya.
Dikotomisasi pendidikan formal mandiri dan formal standar ini ditengarai akan berjalan mulus, karena pemerintah daerah juga memiliki nafsu sama. Daerah kabupaten/kota sedang bernafsu membuat minimal satu "sekolah unggul". Penajaman dikotomi sekolah bermutu-tidak bermutu, sekolah bagi orang kaya dan orang miskin, sekolah bagi anak bernilai ujian tinggi dan rendah sudah tidak tabu bagi sebagian besar pengambil keputusan di tingkat daerah.
Meski berstatus mandiri, pemerintah daerah tak segan-segan mengalokasikan anggaran pendidikan dari APBD guna mewujudkan sekolah elite. Para birokrat eksekutif dan legislatif daerah dengan mudah akan melakukan kompromi, karena sosok sekolah ini juga menjadi bagian aspirasi mereka sebagai anggota masyarakat kelas menengah atas. Tak menutup kemungkinan segala sumber dan energi pendidikan (human maupun non human) akan dikerahkan ke sekolah kebanggaan ini, dan keran anggaran untuk mengurus sekolah-sekolah lain dikecilkan karena dipandang tidak penting. Di era otonomi daerah, bupati/wali kota akan mudah menggunakan tangannya mengatur dan mengumpulkan sumber-sumber potensialnya guna memenuhi ambisi daerahnya memiliki sekolah elite.
Mimpi masyarakat bawah untuk dapat menggapai pendidikan bermutu kian jauh dari angan-angan. Kebijakan pemerintah kian menjauhkan keadilan dari jangkauan tangan-tangan orang miskin. Demi keadilan dan perlindungan bagi yang lemah, harus ada jaminan pemerintah yang mempertegas akses bagi orang miskin menjangkau sekolah-sekolah terbaik di daerahnya. Maka, kebijakan pemerintah harus memihak masyarakat miskin.
Kebijakan pembedaan pendidikan formal mandiri dan formal standar harus menjadi keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin. Penghematan APBN dan aneka bentuk aset pendidikan potensial lainnya yang seharusnya disubsidikan kepada sekolah formal mandiri, tidak boleh dikalkulasi sebagai penghematan guna mengurangi beban finansial pemerintah, tetapi harus dialihkan untuk menambah subsidi pemerintah dalam kerangka mempercepat peningkatan mutu pendidikan formal standar. Dengan demikian, keberpihakan pemerintah kepada pendidikan formal standar merupakan wujud keberpihakan berkeadilan kepada sebagian besar masyarakat lemah.
Di tengah dikotomi yang umumnya tidak memberi peluang bagi yang lemah, aneka kebijakan pemerintah yang hanya menggunakan asas kesamaan hak dan kewajiban, belumlah cukup. Dalam kondisi seperti ini, demi keadilan sejati, aneka kebijakan pemerintah tentang pendidikan seharusnya selalu berpihak kepada masyarakat miskin, terpinggirkan, yang menjadi mayoritas penghuni negeri ini.
Bentuk-bentuk ketidak adilan pemerintah dalam soal anggaran misalnya; hasil penelitian Central Independent Monitoring Unit (CIMU) mengenai bantuan DBO dan OPF menyatakan bahwa banyak sekolah-sekolah negeri yang semestinya tidak mendapatkan bantuan, tetapi memperoleh bantuan; sebaliknya banyak sekolah-sekolah swasta yang mestinya mendapatkan bantuan, tetapi tidak memperoleh bantuan. Laporan Asian Development Bank (ADB) juga menyebutkan hal yang senada. Setiap siswa SLTP negeri rata-rata mendapat bantuan 376 ribu rupiah dalam satu tahun dan setiap siswa MTs negeri 296 ribu rupiah. Sementara itu siswa SLTP dan MTs swasta hanya 21 ribu rupiah setiap anak per tahun. Untuk siswa SD, MI, SMU, MA, SMK, dan PT kondisinya serupa.
Jadi, kalau kita ingin merealisasi konsep kesetaraan kualitas antara pendidikan negeri dan swasta, Madrasah dan sekolah umum, sikap dan perlakuan pemerintah harus diubah. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan harus dijunjung tinggi sehingga pemerintah benar-benar dapat bersikap dan berlaku transparan, akuntabel, serta adil baik terhadap lembaga pendidikan negeri maupun swasta, pendidikan keagamaan maupun sekolah umum, dalam kerangka pengembangan pendidikan nasional
Bila menengok ke belakang, sebenarnya masih banyak kontradiksi lain dalam kebijakan pendidikan nasional. Salah satunya yang telah berlangsung begitu lama adalah pandangan terhadap arti pendidikan itu sendiri. Dalam berbagai retorika, baik dalam masa kampanye pemilu maupun dalam upacara-upacara, sering disebut bahwa pendidikan itu sangat penting dan sangat strategis dalam konteks peningkatan kualitas SDM.
Akan tetapi, ketika berhadapan dengan konsekwensi akan kebutuhan dana yang besar, keyakinan itu seolah-olah lenyap begitu saja. Pendidikan jadi sekadar cukup penting, agak penting, bahkan tidak begitu penting. Bukti nyata akan hal ini adalah masih belum terealisasinya proporsi 20 persen APBN bagi anggaran pendidikan nasional. Alasannya, dana negara belum memadai, atau akan dipenuhinya secara bertahap.
Padahal, kebijakan tentang proporsi 20 persen mestinya tak perlu menunggu dana besar karena proporsi tidak bergantung pada total nilai APBN. Proporsi hanya ditentukan oleh variabel konsistensi terhadap keyakinan bahwa pendidikan memang penting. Selama keyakinan ini tidak konsisten, tentunya akan merasa berat untuk mewujudkan proporsi 20 persen. Meski secara eksplisit telah masuk dalam perundang-undangan.
Inilah dunia pendidikan nasional yang syarat kontradiksi. Manajemen pendidikan katanya harus berbasis sekolah (ingat MBS), tetapi dalam pelaksanaannya kepala sekolah masih sangat bergantung pada kebijakan birokrasi di atasnya. Guru katanya merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan, nyatanya, hingga kini nasibnya belum banyak yang terentas dari keterpurukan. Guru dituntut untuk senantiasa belajar meningkatkan kompetensinya, tetapi kenyataannya, kegiatan pelatihan cenderung hanya bernuansa proyek. Padahal, membeli buku, koran, dan majalah gajinya tidak cukup, apalagi mengakses internet. Alhasil, selama kebijakan-kebijakan pendidikan masih penuh dengan kontradiksi-kontradiksi, jangan harap akan terjadi lompatan signifikan terhadap kualitas pendidikan di masa depan.

C. Mutu Pendidikan
Dalam kerangka umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Berbicara mutu pendidikan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah jelas menyatakan bahwa :
Pasal 5 ayat (1) bahwa “ Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pasal 10 bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) juga menyatakan bahwa :
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”.
Dan Pasal 34 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 ayat (3) juga menyatakan bahwa:
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Melihat penjelasan dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, jelaslah bahwa kualitas mutu pendidikan adalah menjadi suatu kebutuhan dan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah bersama-sama penyelenggara pendidikan untuk kemudian diterima oleh setiap peserta didik. Karena memperoleh pendidikan yang bermutu juga hal semua siswa, tidak hanya siswa yang kaya atau siswa yang belajar di sekolah yang disebut dengan kategori “favorit dan unggul” saja, melainkan juga siswa yang belajar pada semua tingkatan. Oleh karena itu, maka tidak mungkin dapat dicapai suatu lulusan yang bermutu apabila masih banyak terjadi perbedaan dalam segala aspek pada lembaga-lembaga pendidikan. Terlebih dalam hal yang langsung terkait dengan sarana penunjang kegiatan belajar mengajar.
Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, UAS atau UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Oleh karenanya, manajemen sekolah, dukungan kelas adalah berfungsi untuk mensinkronkan berbagai input atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Sehingga dengan skenario yang demikian akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Kualitas pendidikan sebagai pengejawantahan dari suatu hasil mutu pendidikan adalah sangat terkait dengan (i) kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, penilik), (ii) kurikulum pengajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) bahan ajar, (v) alat bantu pembelajaran, dan (vi) manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu seyogyanya menjadi perhatian yang serius.
Indikator kualitas ditandai oleh beberapa aspek yang meliputi : (1) Konteks pendidikan atau lingkungan di mana sekolah tersebut berlokasi; (2) Masukan yang terdiri atas rencana, sumber daya manusia, fasilitas/sarana, dan manajemen; (3) Proses pengelolaan organisasi, belajar-pembelajaran, dan penilaian; (4) Hasil yang berupa pencapaian akademik, peningkatan keterampilan, serta perubahan sikap dan perilaku; (5) dampak yang meliputi keberhasilan studi lanjut, kesiapan kerja, perolehan pendapatan, dan meningkatnya citra sekolah sebagai komponen integral sistem pendidikan nasional (Miarso, 2005 : 737).
Berbicara mengenai kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan UAN siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Mencermati persoalan-persoalan di atas, tentunya jika kita membincangkan masalah kualitas atau mutu pendidikan adalah tidak bijak manakala semua kekurangannya terlebih kesalahannya ditumpahkan pada sekolah semata, sebagai pengelola kegiatan proses belajar mengajar. Namun juga ada faktor lain yang terlibat di dalamnya, seperti regulasi kebijakan yang mengarah pada daya dukung peningkatan mutu, seperti distribusi tenaga guru yang cukup merata dan tidak menumpuk pada sekolah-sekolah negeri dan di perkotaan saja, dan juga distribusi bantuan sarana-prasana oleh pemerintah. Di samping regulasi kebijakan pemerintah juga daya dukung masyarakat baik dalam keterlibatannya untuk mengontrol kualitas maupun partisipasinya dalam bantuan sarana-prasarana.
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain : (1) Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, (2) Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan, (3) Kesenjangan tingkat pendidikan, (4) Good Governance yang belum berjalan secara optimal, (5) Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata, (6) Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik, (7) Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK, (8) Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, (9) Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai (Uhar Suharsaputra:2007).
Permasalahan tersebut di atas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara. Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : (1). Perluasan dan Pemerataan Pendidikan (2) Mutu dan Relevansi Pendidikan dan (3). Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

D. KESIMPULAN
Disparitas mutu pendidikan sampai saat ini adalah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Beberapa factor yang menjadi sumber permasalahan adalah kualitas proses dan sarana prasarana pembelajaran yang masih belum merata. Lembaga pendidikan yang di bawah naungan pemerintah (negeri) dan masyarakat (seperti yayasan) dan lembaga pendidikan di wilayah perkotaan dan pedesaan adalah sangat jelas adanya disparitas tersebut. Sehingga dampaknya adalah pada kualitas mutu yang juga akan pasti terjadi disparitas.
Permasalahan di atas, di antara penyebabnya adalah karena pemerintah masih melakukan dikriminasi perlakuan dalam hal kebijakan pemberian subsidi baik yang menyangkut fasilitas fisik maupun non fisik (sumber daya kependidikan dan informasi).
Ketidak adilan perlakuan dalam penerapan kebijakan pendidikan oleh pemerintah yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan baik di tingkat pusat sampai ke daerah adalah lebih-lebih terjadi pada permasalahan mengenai kewenangan pengelolaan lembaga pendidikan yang bernama “madrasah”. Karena madrasah masih di anggap bagian dari lembaga pendidikan agama yang berada di bawah naungan departemen agama. Sehingga tidak diotonomikan. Padahal harus diakui bahwa eksistensi madrasah sudah cukup lama dan merupakan lembaga pendidikan yang sudah cukup usia. Dan yang paling penting adalah bahwa mayoritas madrasah adalah berstatus swasta.
Akan tetapi, terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.
Beberapa contoh permasalahan pendidikan tersebut adalah akibat kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada kesamaan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam mendapatkan subsidi dari pemerintah baik dalam hal subsidi tenaga kependidikan seperti guru, tenaga administrasi, laboran, kepala sekolah yang berkualitas, maupun juga subsidi dananya. Terlebih ketidak adilan kebijakan tersebut adalah jika dikaitkan dengan subsidi pemerintah dalam pembinaan kualitas pendidikan di madrasah. Padahala konstitusi negara telah jelas menyatakan bahwa semua anak bangsa semestinya mendapatkan layanan yang sama dalam hal kualitas pendidikan.
Nampaknya, harus ada kesadaran bersama seluruh stakeholders tentang hal-hal berikut: (1) adanya kesepakatan untuk mengembalikan pendidikan sesuai dengan fungsi dasarnya, yakni sebagai wadah pembentukan manusia utuh. (2) Perbaikan kurikulum, dengan penyeimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spritual (SQ). (3) Peningkatan kualitas para pendidik. Dan 4) Berpedoman kepada Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dalam jangka panjang, kalau “Montesque” menggagas tiga badan independen dengan Trias Politikanya. maka dalam satu negara harus terdapat empat badan yang independen, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif, dan edukatif.
Asumsi yang mendasari pemikiran tersebut adalah bahwa pendidikan tidak akan pernah berjalan sesuai dengan tujuan negara jika badan tersebut masih berada dalam wilayah yang sarat dengan muatan politis. Catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun merupakan saksi jatuh bangunnya dunia pendidikan kita. Oleh karena itu gagasan di atas dianggap sebagai langkah awal dalam membumikan manifesto pendidikan dalam masyarakat. Sehingga tidak lagi menagih janji mutu pendidikan dalam situasi ketidak adilan kebijakan. Dan ini tentunya tidak akan dapat menyelesaikan masalah pendidikan dengan waktu yang relatif cepat dan sama, selagi ketidak adilan itu masih tetap terjadi.
Untuk itu, menurut Ulul Albab (2005) perlu juga dipikirkan untuk membuat peraturan yang mengharuskan semua pemerintah daerah, yang memiliki kewenangan dan otonom, menyusun masterplan pendidikan di wilayahnya masing-masing dan dipresentasikan di tingkat propinsi masing-masing, supaya pemerintah propinsi secara dini sudah bisa mengetahui ke mana arah kebijakan pendidikan pemda di wilayahnya dan kapan serta bagaimana keterlibatan pemprov pada perencanaan dan kebijakan pendidikan di daerah tersebut. Juga hal ini bermanfaat bagi pemerintah daerah yang bersangkutan, karena dengan saling mengetahui presentasi diantara mereka diharapkan mereka saling menyempurnakan master-plannya. Selanjutnya pemerintah propinsi menyusun rencana dan mengidentifikasi factor-faktor lingkungan yang seharusnya dapat diintervensi agar kondusif dengan kebijakan yang direncanakan.
Dari berbagai gambaran-gambaran seperti yang telah dijelaskan di atas, maka jelaslah bahwa pemerintah tidaklah bijaksana jika menagih mutu pendidikan dengan standar yang sama sementara ketidak adilan dalam regulasi yang dikeluarkan pemerintah sendiri masih tidak adil. Padahal telah jelas ketidak adilan atau sikap diskriminatif dalam pendidikan tersebut telah dilarang dalam konstitusi Negara (UUD 1945) dan juga Undang-undang Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen. Akan tetapi mengapa masih tetap terjadi?. Ketidak adilan dalam menagih mutu tersebut, karena masih banyak lembaga-lembaga pendidikan, khususnya yang berada di daerah dan di kelola oleh masyarakat jauh dari memenuhi standar untuk mencapai kualitas mutu yang dapat disamakan dengan sekolah negeri dan sekolah yang berada di perkotaan.
Kondisi demikian, tentunya pula bukan berarti untuk melakukan pembenaran terhadap sekolah-sekolah di daerah dan berstatus yayasan (swasta) untuk tidak memiliki kualitas dan tidak bermutu. Akan tetapi bagaimana pemerintah juga dapat memikirkan dan jika perlu membalik pola subsidi tersebut, sehingga sekolah-sekolah swasta dan yang berada di daerah dapat secara bertahap meningkatkan mutunya.








REFERENSI

1. Kamdi, Waras, Keadilan di Era Dikotomi Pendidikan, Kompas, 2005,
2. NAHDI, M., Ketidak Adilan Kebijakan Pendidikan, Artikel, 2004
3. Tilaar, H.A.R. (2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
4. Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah
untuk peningkatan mutu, Jakarta, Diknas,1999Undang-undang Dasar 1945
5. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional
6. Undang-undang Nomor 14 tahun 1005 tentang Guru dan Dosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar