Kamis, 07 Oktober 2010

Sinopsis

PENINGKATAN KEBERHASILAN PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
DENGAN PENERAPAN BELAJAR BERBASIS SUMBER

THE IMPLEMENTATION OF RESOURCE BASED LEARNING
FOR IMPROVING STUDENTS LEARNING IN ISLAMIC STUDIES
AT THE VOCATIONAL SCHOOLS


Hidayatullah

Abstract

This research is an action research with the objective of improving the students’ learning outcome in Islamic Studies by applying resource based learning strategy with the indicators of learning effectiveness, effeciency and attractiveness.
This research was done in cycles wich ended when the objectives are achieved. It was found out that after two cycles of instruction involving 21 sessions, the objectives are achieved.
The result of the research indicates that the students’ personality are improved with the implementation of resource based learning. It is also indicates that the implementation of the resource based learning is meeting the indicators of effectivenes, effieciency and attractiveness.

Keywords: resource based learning, action research, effectiveness, efficiency, attractivenes, personality.



A. PENDAHULUAN
Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai bidang studi atau mata pelajaran di sekolah memiliki dua karakteristik, yaitu sebagai bidang studi yang bermuatan pengetahuan (transfer of knowledge) dan bidang studi yang bermuatan nilai (transfer of value). Hal ini mengandung pengertian bahwa PAI merupakan mata pelajaran yang tidak hanya memberikan modal pengetahuan agama Islam tetapi juga memberikan modal moral kepada siswa (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993:44). Pemahaman ini adalah sebagaimana tujuan dari Pendidikan Agama Islam itu sendiri, yaitu untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sedangkan fungsi dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah untuk : (a) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (b) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (c) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; (d) Perbaikan kesalahan- kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; (e) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan di hadapinya sehari-hari; (f) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya; dan (g) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. (Balitbang Diknas, 2003:8).
Sejatinya siswa yang telah mengikuti dan mempelajari materi PAI memiliki sikap giat belajar mandiri, siswa yang hormat pada yang lebih tua, tenggang rasa pada yang seusia dan mencintai pada yang lebih muda, siswa yang menebarkan kebaikan tanpa pandang-pilih, siswa yang mampu mengelola energinya dengan prestasi dan aktualisasi kemampuan, siswa yang tegar dengan segala lika-liku hidup (sehingga tidak mudah terjerumus pada kenikmatan yang melalaikan), siswa yang memiliki otonomi moral atau akhlak sehingga tidak mudah terbawa oleh ajakan-ajakan negatif, bahkan mampu mengingatkan jika orang lain terlanjur berperilaku negatif. Namun pada kenyataannya, seolah-olah pendidikan agama dianggap kurang memberikan kontribusi ke arah itu. Sering kita melihat dan membaca dari media massa tentang perilaku negatif yang dilakukan siswa, seperti perkelahian, tawuran, melakukan hubungan seksualitas di luar nikah, meminum obat-obatan terlarang, dan bahkan bunuh diri dan melakukan pembunuhan. Fenomena tersebut, mengindikasikan kurang diamalkannya ajaran agama yang dipelajari siswa dalam kehidupan sehari-hari, dan ini dinilai sebagai kekurang berhasilan pendidikan agama Islam di sekolah.
Kekurang berhasilan pendidikan agama Islam selama ini, sangat erat kaitannya dengan sejumlah persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam di lapangan, yaitu kesalahan paradigma dalam pengelolaan proses pembelajaran bukan kesalahan dari segi isi, yaitu terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi ”makna” dan ”nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah maka diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang relevan dengan tujuan dan konteks pembelajaran PAI yang tidak hanya bermuatan kognitif semata-mata dalam bentuk hafalan, melainkan juga bagaimana siswa menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang masih terdapat kesenjangan dalam pembelajaran PAI. Permasalahan tersebut di antaranya adalah (1) Bagaimanakah proses pembelajaran yang dapat meningkatkan keberhasilan pembelajaran PAI di sekolah?; (2) Faktor apa sajakah yang menjadi indikator keberhasilan pembelajaran PAI?; (3) Usaha apa yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan kepribadian siswa?; (4) Kemampuan dasar apa yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sehingga dapat meningkatkan keberhasilan pembelajaran PAI di sekolah?; (5) Isi materi pembelajaran yang seperti apa yang dapat meningkatkan kepribadian siswa?; (6) Metode pembelajaran apa yang sesuai digunakan guru untuk meningkatkan kepribadian siswa?; (7) Media dan sumber pembelajaran apa yang sesuai digunakan guru untuk meningkatkan kepribadian siswa?; (8) Bagaimana evaluasi yang tepat untuk mengukur peningkatan kepribadian siswa sebagai indikator keberhasilan pembelajaran PAI di sekolah?.
C. FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah pada masalah upaya meningkatkan keberhasilan pembelajaran PAI siswa di SMK dengan menggunakan pendekatan Belajar Berbasis Sumber (BEBAS). Pembelajaran “BEBAS” yang dimaksudkan adalah sebuah proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tidak hanya terfokus pada guru sebagai satu-satunya sumber belajar, melainkan dimanfaatkannya berbagai sumber belajar yang cocok (appropriate resources) untuk peningkatan keberhasilan pembelajaran. Sumber belajar yang cocok adalah yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan satuan pendidikan yang diteliti, jadi bersifat realistik bukan ideal.
D. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah dan fokus penelitian di atas, maka masalah penelitiannya dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah penerapan Pembelajarran Berbasis Sumber dikembangkan agar keberhasilan belajar dalam pelajaran PAI dapat meningkat ditinjau dari aspek efektifitas, efesiensi dan daya tariknya?
E. KAJIAN PUSTAKA
1. Belajar dan Pembelajaran
Belajar adalah proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam prilakunya. Perubahan itu diperoleh melalui usaha (bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman. Belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan itu disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada individu yang belajar, tidak pada orang lain dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan penampilan itu disebabkan karena setiap individu mempunyai karakteristik individualnya yang khas, seperti minat, intelegensi, perhatian, bakat dan sebagainya. Oleh karena itu, belajar dalam pandangan Andreas Harefa (2003:36) merupakan suatu proses menyatakan diri secara utuh, dan menempatkan posisi kemanusiaannya secara menyeluruh, yakni sebagai homo khalifatullah atau homo Dei, makluk yang memiliki fitrah, makhluk yang dicipta dengan diberi kreativitas untuk menciptakan ulang dirinya sendiri, membentuk karakternya sebagai pribadi yang unik, authentik, tak terbandingkan dengan apapun dan siapapun yang bukan dirinya.
Kemampuan orang untuk belajar adalah sebagai ciri penting yang membedakan jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lainnya (Margaret, 1994:1). Kemampuan belajar itulah yang memberikan manfaat bagi individu dan juga bagi masyarakat. Dan oleh karena itu, belajar adalah suatu modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Sebagaimana pendapat Mayer (1982) bahwa belajar menyangkut adanya perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan atau perilaku seseorang karena pengalaman (Seels dan Richey, 1994:13).
Belajar menurut Gagne adalah perubahan dalam disposisi manusia atau kapabilitas yang berlangsung selama satu masa waktu dan yang tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan. Perubahan tersebut harus dapat bertahan selama beberapa priode waktu (Munandir, 1990:3). Belajar merupakan kegiatan yang kompleks, yang terdiri dari komponen kondisi internal, kondisi eksternal, dan hasil belajar. Kondisi internal dan proses kognitif pebelajar akan berinteraksi dengan stimulus dan lingkungan. Proses kognitif ini akan memberikan hasil belajar, dalam bentuk informasi verbal, keterampilan intelektual, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif. Sedangkan menurut Snelbecker (1974:12-13), belajar secara paedagogis adalah kesiapan untuk menghadapi suatu lingkungan atau kondisi tertentu. Belajar diarahkan oleh tujuan dan terdiri atas hidup, bertindak, dan memperoleh pengalaman-pengalaman, serta berusaha untuk memahami makna dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh.
Menurut Yusufhadi Miarso (2007:550-551), ada empat rujukan yang terkandung dalam definisi belajar, yaitu: (1) adanya perubahan atau kemampuan baru;(2) perubahan atau kemampuan baru itu tidak berlangsung sesaat, melainkan menetap dan dapat disimpan;(3) perubahan atau kemampuan baru itu terjadi karena adanya usaha;dan (4) perubahan atau kemampuan baru itu tidak hanya timbul karena faktor pertumbuhan.
Dari beberapa pengertian tentang belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah: (a) suatu proses yang dilakukan oleh seseorang, (b) untuk melakukan perubahan dan memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap; (c) dengan melibatkan proses-proses mental internal melalui latihan, pengalaman dan interaksi sosial. dan (e) perubahan perilaku yang ditimbulkannya bersifat relatif permanen.
Sementara itu, pengertian pembelajaran dalam UU Sisdiknas (2003:5) diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dilukiskan oleh Gagne & Briggs sebagai upaya orang yang tujuannya ialah membantu orang belajar. Oleh karena itu, menurutnya ada lima asumsi yang mendukung pembelajaran, yaitu (1) pembelajaran mesti direncanakan agar memperlancar belajar siswa perseorangan, (2) baik fase pendek maupun fase jangka panjang dimasukkan dalam rancangan pembelajaran, (3) perencanaan pembelajaran hendaknya tidak asal-asalan dan tidak semata-mata menyediakan lingkungan asuh saja, (4) usaha pembelajaran mesti dirancang dengan ancangan sistem, dan (5) pembelajaran harus dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana orang itu belajar (Margaret, 1994:207).
Ada beberapa ciri tentang pembelajaran yang dikemukakan oleh Gagne (1978:253-255), yaitu: (1) menarik perhatian agar siap menerima pelajaran, (2) memberitahukan tujuan pelajaran, (3) merangsang timbulnya ingatan atas ajaran sebelumnya, (4) presentasi bahan ajaran, (5) memberikan bimbingan belajar, (6) membangkitkan timbulnya unjuk kerja, (7) memberikan umpan balik, (8) menilai unjuk kerja, dan (9) memperkuat retensi dan transfer belajar. Sementara Omar Hamalik (1999) menjelaskan tiga ciri khas yang terkandung dalam system pembelajaran, yaitu: (1) adanya rencana, yaitu penataan ketenagaan, material dan prosedur, (2) adanya kesalingtergantungan (interdependence), yaitu kesalingtergantungan antara unsur-unsur dalam sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan, dan (3) adanya tujuan tertentu yang hendak dicapai (Sutikno, 2004:14).
Menurut Yusufhadi Miarso (2007:545) pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Pengertian ini membedakan istilah pembelajaran (instruction) dengan pengajaran (teaching). Sebab pembelajaran adalah usaha mengelola lingkungan belajar dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik yang biasanya berlangsung dalam situasi formal/resmi. Definisi pembelajaran di atas, memiliki makna bahwa dalam pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Bahkan kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kegiatan inti pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran lebih memfokuskan pada bagaimana membelajarkan orang, bukan pada apa yang dipelajari orang Reighltuh, 1998:5). Secara umum, upaya pemilihan, penetapan dan pengembangan variabel metode pembelajaran haruslah berpijak pada empat hal penting, yang dikelompkkan ke dalam variabel kondisi pembelajaran, yaitu: (1) tujuan apa yang igin dicapai, (2) isi apa yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan, (3) sumber belajar apa yang tersedia, dan (4) bagaimana karakteristik siswa yang belajar. Tanpa pijakan ini, kecil sekali peluang untuk dapat mengembangkan metode pembelajaran yang optimal. Optimalisasi metode pembelajaran tersebut juga harus menyesuaikan dengan ketersediaan sumber belajarnya.
Tujuan utama pembelajaran adalah membelajarkan pebelajar. Oleh karena itu pembelajaran harus diarahkan untuk mengoptimalkan upaya tersebut. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah suatu kegiatan atau proses yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk mengelola kondisi-kondisi lingkungan secara sistemik sehingga orang yang belajar dapat mencapai tingkat kemampuan tertentu (dapat mencapai tujuan tertentu).

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar
Proses pembelajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran (goal directed). Dalam konteks yang demikian, maka hasil belajar merupakan perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran (ends are being attained). Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran mengandung makna ketuntasan dalam belajar dan ketuntasan dalam proses pembelajaran. Artinya belajar tuntas adalah tercapainya kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap, atau nilai yang diwujudkan dalam kebiasan berpikir dan bertindak. Patokan ketuntasan belajar mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator yang terdapat dalam kurikulum (Surya Dharma, 2008:4)..
Keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi. Faktor-faktor tersebut merupakan suatu kesatuan sistem dalam pembelajaran. Sehingga antara yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana gambar berikut:









(Gambar 1: Hubungan Sistem Pembelajaran
Diadaptasi dari Wina Sanjaya, 2008 hal:204)

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran tersebut, dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa, Faktor eksternal (factor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa, dan Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran (Muhibbin Syah, 1999: 132).Keberhasilan pembelajaran sebagai hasil dari proses pembelajaran yang tepat dan efektif, menurut Reigeluth (1983:20), secara umum dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek efektifitas pembelajaran, efesiensi, dan daya tarik pembelajaran. Efektifitas proses pembelajaran tersebut dipengaruhi pula oleh sejauhmana kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang efektif dapat terwujud melalui kegiatan yang memiliki ciri-ciri: (1) berpusat pada siswa, (2) interaksi edukatif antara guru dan siswa, (3) suasana demokratis, (4) variasi metode mengajar, (5) bahan yang sesuai dan bermanfaat, (6) lingkungan yang kondusif, dan (8) sarana belajar yang menunjang (Tohirin,2005:177-179). Sementara menurut Wotruba and Wright (1975) yang dikutip oleh Yusufhadi Miarso (2007:536) bahwa ada tujuh indikator yang menunjukkan pembelajaran efektif, yaitu: (1) Pengorganisasian kuliah dengan baik, (2) Komunikasi yang efektif, (3) Penguasaan dan antusiasme dalam mata kuliah, (4) Sikap positif terhadap mahasiswa, (5) Pemberian ujian dan nilai yang adil, (6) Keluwesan dalam pendekatan pengajaran, dan (7) Hasil belajar mahasiswa yang baik.
Menurut Castelle G. Gentry (1993: ix), bahwa keberhasilan pembelajaran tidak hanya karena faktor pengembangan pembelajaran yang dilakukan oleh guru saja, seperti kegiatan analisis kebutuhan, adopsi, desain, produksi, prototype, instalasi, operasi dan evaluasi, melainkan pula karena adanya faktor pendukung lainnya seperti manajemen, penanganan informasi, perolehan dan alokasi sumber daya, personil, dan fasilitas. Kedua faktor tersebut perlu ada komunikasi dan saling ketergantungan dalam rangka pencapaian keberhasilaan pembelajaran. Pendapat Gentry tersebut tampak dalam gambar sebagai berikut:









Gambar 2: Desain Pembelajaran Model Castelle G. Gentry, 1994, 1)

3. Teori Belajar Konstruktivistik
Dalam pandangan konstruktivis, ada dua teori yang mendominasi, yaitu teori individual cognitive constructivist Jean Piaget dan teori sociocultural constructivist Vigotsky. Penjelasan dari kedua teori tersebut adalah sebagai berikut:
a) Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelasakan bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses berfikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punyai.Menurut Piaget, tahap-tahap perkembangan kognitif serta pertambahan umur akan mempengaruhi kemampuan belajar individu. Perkembangan kognitif manusia melalui 4 (empat) tahap, yaitu: (1) tahap sensori motoris (0 – 2 tahun), di mana anak belum mempunyai konsepsi tentang objek secara tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap melalui indranya; (2) tahap pre-operasional (2 – 7 tahun), di mana anak mulai timbul perkembangan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai; (3) tahap operasional kongkrit (7 – 11 tahun), di mana anak telah dapat berpikir kongkrit; dan (4) tahap operasional formal (11 – dewasa), di mana anak telah mempunyai pemikiran abstrak terhadap bentuk-bentuk yang kompleks (Anita Wolfok, 2004:32).
Untuk menunjukan struktur kognitif yang mendasari pola-pola tingkah laku yang terorganisir, Piaget menggunakan istilah skema dan adaptasi. Dengan kedua komponen ini berarti kognisi merupakan sistem yang selalu diorganisir dan diadaptasi, sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya.Skema merupakan suatu proses interaksi yang terus menerus (continous) antara lingkungan dan kondisi manusia yang disebut adaptasi. Pengalaman adaptasi ini mewujudkan perkembangan schema baru. Skema adalah suatu pola sistematis dari tindakan, perilaku, pikiran, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan jenis situasi. Adaptasi (struktur fungsional) adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Piaget untuk menunjukan pentingnya pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses perkembangan kognitif. Adaptasi adalah terdiri dari dua proses yang saling melengkapi, yaitu asimilasi dan akomodasi. Akomodasi adalah perubahan respon terhadap tuntutan lingkungan yang mencakup perkembangan schema baru dari adaptasi schema yang sudah ada, terhadap situasi baru. Asimilasi diartikan sebagai transfer atau memberi respons terhadap stimulus tertentu. Setiap organisme yang ingin mengadakan penyesuaian (adaptasi) dengan lingkungannya harus mencapai keseimbangan (ekuilibrium), yaitu antara aktivitas individu terhadap lingkungan (asimilasi) dan aktivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi). Agar terjadi ekuilibrasi antara individu dengan lingkungan, maka peristiwa-peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama dan komplementer. Dengan demikian, maka belajar menurut teori Piaget ini adalah adaptasi yang holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang terhadap situasi baru, sehingga mengalami perubahan yang relatif permanen. Dan sebelum perubahan tersebut terjadi maka harus ada kesiapan (readiness) dan kematangan (maturity) (Semiawan, 2007:10-11).
b). Teori Perkembangan Sosial Vigotsky
Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Menurut vygotsky, keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Konsep ini oleh Vygotsky disebut dengan Zone of Proximal Development (ZPD). Zone of Proximal Development adalah level kecakapan melebihi apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak didik dan menunjukkan rentang tugas belajar yang dapat dikerjakan jika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya yang berkompeten (Wolfok:52). Di bawah zona tersebut anak didik dapat melaksanakan tugas-tugas tanpa bantuan, dalam zona tersebut bantuan tambahan diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dengan berhasil, di atas zona tersebut meski bantuan tambahan telah diberikan tetap tidak akan berhasil. Zona tersebut menunjukkan rentang tugas di mana seorang guru dapat membantu perkembangan anak didik secara produktif. Sebagai Implikasinya dalam pendidikan menurut Semiawan (2007:48), adalah bahwa perkembangan skema dan operasi yang baru akan muncul bila ada kesiapan, perlu distimulasi pada satu tingkat perkembangan yang lebih tinggi yang disebut dengan plus-one-matching.
4. Teori-teori Pembelajaran
Menurut Reighluth dan Merill yang dikutip oleh Yusufhadi Miarso (2007:529) bahwa teori pembelajaran adalah bersifat preskriptif, yaitu memberikan ”resep” untuk mengatasi masalah belajar. Teori pembelajaran tersebut memiliki tiga variabel utama, yaitu metode, kondisi, dan hasil. Metode adalah berbagai macam cara untuk mencapai berbagai macam hasil, dalam berbagai kondisi. Kondisi merupakan faktor yang mempengaruhi dampak metode, dan untuk itu penting untuk menentukan metode. Hasil merupakan berbagai akibat yang dapat dipakai untuk mengukur efektivitas berbagai macam metode dalam berbagai kondisi. Kerangka kerja teori pembelajaran Reighluth dan Meril tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Kondisi Pembelajaran Karakteristik Pelajaran Karakteristik siswa
Tujuan Hambatan

Metode Pembelajaran Pengorganisasian Bahan pelajaran Strategi Penyampaian Pengelolaan Kegiatan

Hasil Pembelajaran Efektivitas, efesiensi, dan daya tarik pembelajaran
(Gambar 4: Kerangka teori Pembelajaran diadaptasi dari Reighluth, 1983, h:19)

Teori pembelajaran adalah satu set prinsip yang terintegrasi yang menjelaskan panduan untuk mengatur kondisi guna mencapai tujuan pendidikan (Snelbecker, 1974 :116). Dari pendapat ini jika dikaitkan dengan pembelajaran, maka teori pembelajaran adalah suatu set prinsip yang terintegrasi menjelaskan cara untuk mengatur kondisi demi tercapainya tujuan pembelajaran. Snelbecker melihat pembelajaran sebagai suatu upaya yang berwujud panduan yang harus dilewati baik oleh siswa maupun oleh guru untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sementara menurut Reigeluth, teori pembelajaran dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu (1) teori deskriptif yang menempatkan variabel kondisi dan metode sebagai variabel bebas yang berinteraksi untuk menghasilkan efek konsisten terhadap variabel hasil sebagai variabel tergantung, dan (2) teori preskriptif yang menempatkan variabel hasil dan kondisi sebagai variabel bebas yang berinteraksi dan digunakan untuk mempreskripsikan metode pembelajaran yang baik sebagai variabel tergantung (Reigeluth, 1998 :22-23). Perbedaan kedua bentuk teori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:







Keterangan:
1. Teori pembelajaran Deskriptif
2. Teori pembelajaran Preskriptif
(Gambar 5: Hubungan Antar Kategori Variabel Pembelajaran)

Ada beberapa teori tentang pembelajaran, di antaranya teori Penyajian Component (Component Display Theroy) dari Merril, teori Elaborasi (Elaboration Theory) dari Reigeluth dan Stein, dan teori pembelajaran Konstruktivisme dari Bruner.
a). Teori Penyajian Komponen (Component Display Theroy)
Teori Component Display adalah teori pembelajaran yang bersifat preskriptif. Menurut David Merill, Teori Component Display adalah berlandaskan gabungan perspektif ‘behaviorist’ dan kognitif dalam pembelajaran. Salah satu ciri utama teori ini adalah mempreskripsikan pembelajaran atas dasar tujuan. Teori ini mengklasifikasikan tujuan atas dua dimensi, yaitu (1). dimensi pencapaian (performance) yang terdiri dari mengingat, menggunakan, dan menemukan, dan (2) dimensi isi (content) yang terdiri dari fakta, konsep, prosedur serta prinsip (Reigeluth, 1983:286).
Hubungan kedua dimensi tersebut dapat dilihat pada matrik berikut :

FIND
USE
REMEMBER
fact concept procedure principle
TYPE OF CONTENT
(Gambar 6: diadaptasi dari Reigeluth, 1983:286)

b). Teori Elaborasi (Elaboration Theory)
Teori Elaborasi Reigeluth dan Stein tentang pembelajaran memberikan preskripsi tentang pembelajaran dimulai dengan sejenis pengantar yang mengajarkan sebuah pandangan yang umum, sederhana, dan mendasar, lalu lambat laun menuju pandangan yang lebih rinci dan kompleks yang mengelaborasi pandangan sebelumnya. Teori ini juga memberikan preskripsi urut-urutan pra syarat dalam bagian urutan sederhana ke kompleks, dan mempreskripsikan penggunaan tinjauan dan sintesis yang sistematis, di antara hal-hal lain.
Teori elaborasi menggunakan tujuh komponen strategi mayor, yaitu: (a) urut-urutan elaboratif, yaitu strategi urut-urutan pembelajaran dari yang sederhana ke yang kompleks, (b) urut-urutan belajar prasyarat, (c) peringkasan, (d) sintesis, yaitu strategi menghubungkan dan mengintegrasikan pada saat-saat tertentu hal-hal yang sudah dipelajari, (e) analogi, yaitu strategi menghubungkan apa yang sudah dipelajari dengan hal-hal yang sudah dikenal, (f) pengaktifan strategi kognitif, yaitu strategi mengaktifkan strategi kognitif siswa selama pembelajaran, dan (g) pembentukan kontrol pemelajar, yaitu strategi memberikan kebebasan pada siswa memilih dan mengurutkan isi pembelajaran, batas mana yang akan dipelajari, strategi pembelajaran yang akan dipilih, dan strategi kognitif yang akan digunakan (Reigeluth, 1983:342-363).
Dalam pelaksanaan pengorganisasian pembelajarannya, teori elaborasi dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: (1) penyajian epitome; (2) penyajian elaborasi tahap pertama; (3) pemberian rangkuman dan sintesis antar bagian; (4) elaborasi tahap kedua; dan (5) rangkuman dan sintesis akhir (Reigeluth, 1983:364-367).
Langkah-langkah tersebut digambarkan oleh Reighluth sebagai berikut:


Epitome

Elaborasi
tahap pertama


Elaborasi
tahap kedua



(Gambar 7:Model Elaborasi, diadaptasi dari Reighluth, 1983, h:367)

c). Teori Pembelajaran Konstruktivisme Bruner
Teori konstruktivisme merupakan refleksi dari ketidakpuasan Bruner terhadap teori behavioral yang hanya menekankan pada perilaku nyata yang dapat diobservasi dengan prosedur modifikasi perilakunya yang tidak mempertimbangkan proses-proses mental yang terlibat selama belajar, seperti berpikir, problem solving, pembentukan konsep, dan lain-lain. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya (outcome) juga memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Pengetahuan yang ditransformasikan, diciptakan dan dirumuskan kembali (created and recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Menurut Tytler (1996: 20) dalam upaya mengimplementasikan pembelajaran konstruktivisme, ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajarannya, yaitu: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (Hamzah:http//teori konstruktivisme-html).
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.


5. Pendidikan Agama Islam (PAI)
a. Konsep Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum 2004 (2003:7) didefinisikan sebagai:
Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubunganya dengan kerukunan antar ummat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Pengertian di atas, terkandung makna bahwa hasil dari usaha pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial bagi peserta didik, sehingga tidak menimbulkan sifat fanatisme, tidak toleran, dan tidak rukun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integratif), dan dapat pula sebagai faktor pemecah (disintegratif). Oleh karena itu, munculnya dua peran tersebut akan banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh: (1) teologi agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan prilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama; (3) lingkungan sosio kultural yang mengelilinginya; serta (4) peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama dalam mengarahkan pengikutnya (Muhaimin, 2001:77). Dengan demikian, pembelajaran pendidikan agama islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah islamiyah dalam arti luas. Sungguhpun masyarakat yang berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi, dan budaya, tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan hidup yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa.
Pendidikan agama Islam menurut Zakiyah Daradjat (1989:72), adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh, lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Sementara menurut H.M. Arifin (1991:5), pendidikan Agama Islam merupakan bagian dari pendidikan Islam, di mana tujuan utamanya adalah membina dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga ia mampu mengamalkan syari’at Islam secara benar sesuai dengan pengetahuan agama.
Dari beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam penelitian ini adalah suatu bidang studi atau mata pelajaran yang diajarkan pada siswa SMK berisi tentang ajaran-ajaran agama Islam baik pemahaman, penghayatan dan pengamalannya yang materinya terdiri dari: Qur’an dan Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam.
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan agama Islam di sekolah berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi, adalah: Pertama, menumbuh-kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah (Direktorat PAI, 2008:3-4).
Berdasarkan tujuan di atas, menurut Muhaimin (2001:78), dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran PAI, yaitu (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran islam; (2) dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama islam; (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran islam; dan (4) dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa dimensi tersebut merupakan sasaran yang diharapkan sejalan dengan misi ajaran Islam itu sendiri, yaitu untuk memuliakan manusia. Misi ini merupakan misi pendidikan islam itu sendiri, yaitu terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani, dan akal pikiran, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak yang mulia, keterampilan hidup (life skill) yang memungkinkan ia dapat memanfaatkan berbagai peluang yang diberikan oleh allah termasuk pula mengelola kekayaan alam yang ada di daratan, di lautan, bahkan di ruang angkasa.
Tujuan pendidikan agama Islam, jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional adalah memiliki nilai yang searah yang mengharapkan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas, 2003:7). Sebagai warga negara yang berlandaskan pada Pancasila, maka arah dan tujuan pendidikan islam itu disesuaikan dengan tujuan pendidikan nasionalnya, yaitu membentuk manusia Pancasila yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia pancasilais yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa itulah menurut Zakiah Darajat (1996:77) yang disempurnakan dengan kepribadian muslim sejati, sehingga tujuan itu menjadi manusia muslim yang pancasilais.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada hakekatnya adalah bertujuan untuk membentuk kepribadian muslim sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama islam itu sendiri. Hal ini sebagaimana hasil Konferensi Internasional pertama di Makkah tahun 1977 tentang tujuan pendidikan islam sebagai berikut:
Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir dari pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia” (Azyumardi, 2002:57)
c. Kepribadian Muslim Sebagai Tujuan PAI
Istilah kepribadian menurut Allport adalah “is the dynamic organization within the individual those psychological system that determine his characteristic behavior and thought" (yaitu organisasi dinamis yang ada pada seseorang di dalam suatu sistem kejiwaan yang menentukan karakter prilaku dan pikirannya), (Ryckman, 2008:264). Kepribadian adalah semua corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian itu bersifat dinamis artinya selama individu masih tetap belajar dan bertambah pengetahuan, pengalaman serta keterampilannya, ia akan semakin matang dan mantap. Pada usia lanjut yang sehat, kepribadiannya tetap berfungsi baik, kecuali mereka dengan masalah kesehatan jiwa atau tergolong patologik.
Dari pemahaman tersebut kita dapat melihat bahwa kepribadian itu adalah suatu organisasi yang tersusun dari banyak unsur yang saling ketergantungan. Ketergantungan ini mempunyai sistem pengaturan dalam hubungan fungsional. Sistem pengaturan inilah membuat kepribadian itu menjadi kesatupaduan pola-pola pengaturan tingkah laku. Kemudian dikatakan bahwa kepribadian itu bersifat dinamis. Berarti, kepribadian itu adalah sesuatu yang berubah dan berkembang membentuk suatu sikap dan tindakan tertentu. Perubahan ini sesuai dengan waktu dan pengalaman yang dilaluinya. Sikap atau tabi’at, menurut al-Ghazali dapat dirubah melalui pendidikan dan latihan. Karena jika tabi’at tidak bisa dirubah, tentulah nasehat dan petunjuk itu tidak ada gunanya, bahkan pendidikan secara umum tak punya arti apa-apa. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menuntut dilakukannya pembinaan dan pembentukan fitrah dan perbaikan tabi’at atau instink. Hal ini disebabkan oleh dua factor: Pertama, kekuatan tabi’at sejak semula diciptakan serta panjang masa eksistensinya. ia berkeyakinan bahwa sebahagian tabi’at manusia itu ada yang lebih kuat dari pada yang lain dan lebih dahulu eksistensinya pada diri manusia, seperti keinginan Syahwat. Kedua, budi pekerti itu akan kuat jika banyak dipraktekkan, dipatuhi dan diyakini sebagai suatu yang baik dan direstui (Fathiyah, 2000:85-87).
Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan. Pandangan al-Ghazali sebagaimana pendapat pendidik modern, bahwa pribadi seseorang adalah sebagai hasil interaksi dari tendensi-tendensi fitriyah serta factor-faktor lingkungan sekitar. Dengan demikian, kepribadian tersebut merupakan hasil dari unsur-unsur keturunan tertentu yang diatasnya ditanamkan pengaruh-pengaruh luar yang dialaminya selama bertahun-tahun, dan secara faktual dapat diketahui bahwa kepribadian seseorang baik yang diperoleh dari keturunan, budaya, pendidikan, dan sebagainya, dapat diubah, diperbaiki, dan dibersihkan dari sifat buruk yang dimilikinya (Wawan Susetyo, 2008:143).
Kepribadian dalam terminologi studi keislaman lebih dikenal dengan istilah syakhshiyah berasal dari kata syahshun yang berarti pribadi dan kemudian diberi ya’ nisbat sehingga menjadi kata benda syahshiyat yang berarti kepribadian (Syamsu Yusuf, 2007:212). Kepribadian merupakan integrasi sistem qalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Definisi ini sebagai bandingan definisi yang dikemukakan oleh para psikologi psikoanalitik, seperti Sigmun Freud yang mendefinisikan kepribadian sebagai integrasi dari id, ego dan super ego, dan definisi Carl Gustav Jung yang mendefinisikan kepribadian sebagai integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkhetif-arkhetif, pesona dan anima.
Dari pendapat di atas, dapat kita pahami bahwa dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur biologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis kepribadiannya. Dan sinergi keduanya disebut struktur nafsani yang merupakan struktur psikopisik kepribadian manusia. Struktur nafsani tersebut memiliki tiga daya, yaitu (1) qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan (llahiyah) sebagai aspek supra kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (insaniah) sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi (cipta), dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah kesadaran yan berfungsi sebagai daya konasi (karsa). Ketiga komponen fitrah nafsani tersebut berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku (Mujib, 2006:32). Dalam kaitannya dengan kepribadian, maka sikap dan prilaku berperan sebagai wahana untuk:1) memahami dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan dari luar; 2) mempertahankan diri dari upaya negatif; 3) sebagai pernyataan dari nilai-nilai yang dianut; dan 4) berfungsi sebagai perolehan pengetahuan (Zuhriah, 2007:146).
Cara kerja sistem kepribadian dari struktur nafsani sebagaimana yang dijelaskan di atas, kemudian membentuk tiga kepribadian, yaitu: Pertama, kepribadian mutmainnah yaitu kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini dilandasi oleh Iman, Islam, dan Ihasan; Kedua, kepribadian Lawwamah yaitu berada di antara kepibadian ammarah dan muthmainnah. kepribadian ini telah berusaha meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh cahaya terang (nurani) tetapi watak gelapnya ikut campur dalam pembentukan kepribadian, sehingga ia menjadi bimbang dan bingung. Kepribadian ini dilandasi oleh rasionalitas, moralitas dan sosialitas; Ketiga, kepribadian ammarah yaitu kepribadian yang cenderung pada tabi’at jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan kepribadian tercela (Mujib, 2006:162). Kepribadian ammarah keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat, yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan dengan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya ghadhab yang selalu menginginkan, seperti tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, angkuh, dan sebagainya.
Ketiga kepribadian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Ihsan
Qalbu Kepribadian Islam
Mutmainah Iman
Nafsani Akal Kepribadian Sosialis
Lawwamah Moralis
Rasional
Nafsu Kepribadian Produktif
Ammarah Kreatif
Konsumtif
(Gambar 8: Struktur Nafsani)
Dari gambar di atas, jelaslah bahwa ketiga daya insani tersebut memiliki bobot tersendiri dalam pembentukan kepribadian manusia, sebagaimana tabel berikut:
Tabel 1.
Bobot Distribusi Daya-daya Insani dalam pembentukan Kepribadian
No Daya Nafsani Tingkat Kepribadian
Mutmainnah Lawwamah Ammarah
1
2
3 Qalbu
Akal
Hawa Nafsu Tinggi
Sedang
Rendah Sedang
Agak Tinggi
Sedang Rendah
Sedang
Tinggi
(Diadaptasi dari Abdul Mujib, 2006: 151)
Adapun kedudukan atau struktur nafsani tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.
Struktur Nafsani Manusia
No Qalbu Aqal Hawa Nafsu
1


2




3


4




5


6


7 Secara Jasmaniah, berkedudukan di jantung
Daya yang dominan adalah emosi (rasa) atau afektif, yang akhirnya melahirkan kecerdasan emosional
Mengikuti natur ruh yang ilahiyah

Potensinya bersifat zdawqiyyah (cita rasa) dan hadsiah (intuitif) yang sifatnya spiritual

Berkedudukan pada alam suprasadar atau sadar manusia
Intinya religiusitas, spiritualitas dan transendensi
Apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al mutmainnah) Secara Jasmaniah, berkedudukan di otak

Daya yang dominan adalah kognisi (cipta) yang akhirnya melahirkan kecerdasan intelektual

Mengikuti antara natur ruh dan jasad yang insaniah
Potensinya bersifat istidhlaliah (argumentative) dan aqliah (logis) yang sifatnya rasional
Berkedudukan pada alam kesadaran manusia

Intinya isme-isme seperti humanisme, kapitalisme, sosialisme, dsb.
Apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al mutmainnah) Secara Jasmaniah, berkedudukan di perut dan alat kelamin
Daya yang dominan adalah konasi (karsa) atau psikomotorik yang akhirnya melahirkan kecerdasan kinestetik
Mengikuti natur ruh hayawaniah (bahimiyah dan subu’iyah)
Potensinya bersifat hissiyah (Inderawi) yang sifatnya empiris.


Berkedudukan pada alam pra atau bawah sadar manusia
Intinya produktivitas, krativitas dan konsumtif

Apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang jahat (al-nafs al ammarah)
Kepribadian yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Karena etika, moral, norma, nilai, dan estetika yang dimiliki akan menjadi landasan prilaku seseorang sehingga tampak dan membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian itu. Kepribadian merupakan karakteristik atau gaya dan sifat khas dari diri seseorang yang merujuk pada bagaimana individu tersebut tampil dan menimbulkan kesan bagi individu lainnya (Sjarkawi, 2006:34). Kualitas kepribadian muslim setiap orang sudah barang tentu berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi di kala yang lain bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di luar keyakinan agamanya. Oleh karena itu, konseling agama misalnya adalah dimaksud untuk menghidupkan getaran batin iman dari orang yang sedang terganggu kejiwaannya hingga kepribadiaanya tidak utuh, agar dengan getaran batin iman itu sistem nafsaninya bekerja kembali membentuk sinergi yang melahirkan perilaku positip. Dalam keadaan tertentu motivasi agama merupakan kekuatan yang sangat besar dalam menggerakkan perilaku, sama halnya juga dalam keadaan tertentu, motivasi biologis (lapar misalnya) sangat besar pengaruhnya dalam tingkah laku manusia. Melalui puasa, qiyamullail, al wudlu, pembacaan wirid yang konsisten sangat efektif dalam membangun kepribadian seseorang.
Manusia memang bukan malaikat yang selamanya istiqomah dalam kebenaran (Qs. At-Tahrim: 6), tetapi juga bukan setan yang selamanya dalam kebatilan, kekufuran, kemaksiatan dan selalu mengajak manusia ke jalan yang dilarang Allah. Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya bisa berkembang seperti malaikat dan bisa seperti setan amat tergantung pada pilihannya. Apakah manusia mengisi kalbunya dengan ketakwaan atau dengan fujur. Jika pilihannya pada ketakwaan, maka qalbu (fungsi rohaniah sebagai perpaduan antara akal dan rasa) menggerakannya untuk berprilaku yang bermakna (beramal shaleh), dan berpribadi mulia. Tetapi bila yang dipilihnya itu ”fujur” maka dia akan berpirbadi mufsid (pembuat keonaran di muka bumi), biang kemaksiatan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Qs. Asy-Syams, ayat 8-10, Qs, al-Khafi, ayat 29, dan Qs al-Fajr, ayat 30. Pilihan manusia terhadap masalah ”haq” dan ”bathil” akan menentukan prilaku-prilaku tertentu sesuai dengan karakteristik atau tuntutan yang haq dan yang bathil tersebut. Sebagai pribadi yang beriman (mukmin) ia memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Berkenaan dengan akidah: beriman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, dan qodar;
2) Berkenaan dengan ibadah: melaksanaan rukun islam;
3) Berkenaan dengan kehidupan sosial: bergaul dengan orang lain secara baik, suka bekerjasama, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, suka memaafkan kesalahan orang lain, dan dermawan;
4) Berkenaan dengan kehidupan keluarga: berbuat baik kepadakedua orang tua dan saudara, bergaul yang baik antara suami-istri dan anak, memelihara dan membiayai keluarga;
5) Berkenaan dengan moral: sabar, jujur, adil, qona’ah, amanah, tawadlu, istiqomah, dan mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu;
6) Berkenaan dengan emosi: cinta kepada Allah, takut akan azab Allah, tidak putus asa dalam mencari rahmah Allah, senang berbuat kebajikan kepada sesama, menahan ramah, tidak angkuh, tidak hasud, atau iri, dan berani dalam membela kebenaran;
7) Berkenaan dengan intelektual: memikirkan alam semesta dan ciptaan Allah yang lainnya, selalu menuntut ilmu, menggunakan pikirannya untuk sesuatu yang bermakna;
8) Berkenaan dengan pekerjaan: tulus dalam bekerja dan menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam upaya memperoleh rizki yang halal;
9) Berkenaan dengan fisik: sehat, kuat, dan suci/bersih(Syamsu Yusuf,2007:216).
Kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Olah kerana itu, dalam rangka membentuk kepribadian atau karakter peserta didik menurut Ratna Megawangi (2004) terdapat 9 (sembilan) pilar karakter mulia yang dapat diajarkan, yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty);
2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self relience, discipline, orderliness);
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty);
4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience);
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation);
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confiedence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiam);
7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership);
8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty);
9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibilty, peacefulness, unity) (Zaim El-Mubarok, 2008:111-112).
Kepribadian lebih menyangkut jati diri seseorang. Kepribadian yang baik adalah pribadi yang bertanggung jawab, terbuka, dan terus mau belajar untuk maju. Dan kepribadian seseorang yang utuh yaitu pribadi yang berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral, kemampuan aktualisasi diri, seperti disiplin, tanggung jawab, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi dengan orang lain,; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat ambil keputusan, dan lain-lain (Paul Suparno, 2004:47). Kepribadian seseorang menurut Gardner (Saodih, 2003:96-97), dapat dipengaruhi oleh kecerdasannya. Kecerdasan manusia itu terdiri atas 7 (tujuh) kecerdasan, yaitu: (1) kecerdasan linguistik verbal, (2) kecerdasan matematis logis, (3) kecerdasan ruang visual, (4) kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik, (5) kecerdasan musik, (6) kecerdasan hubungan sosial (interpersonal), (7) kecerdasan kerohanian (intrapersonal). Terkait dengan pendapat Gardner tentang kecerdasan, maka yang paling tepat dikaitkan dengan masalah kepribadian adalah kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. Karena kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kesadaran batin, seperti refleksi diri, dan kesadaran yang bersifat rohani. Sementara kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang berhubungan dengan bagaimana memahami dan berinteraksi dengan orang lain.
Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal Gardner tersebut, oleh Goleman disebut dengan kecerdasan Emosional. Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dapat membantu para siswa dan masyarakat dalam mencocokan dengan fenomena dari berbagai permasalahan sosial yang baru-baru ini disebutkan (contohnya kekerasan, depresi dan tekanan) dengan mengajarkan para siswa untuk mengelola berbagai perasaan mereka, menjadi lebih peduli terhadap diri sendiri, meningkatkan keterampilan sosial dan kesadaran mereka, dan menjadi lebih empati (Reighluth, 1999:488). Kecerdasan emosional dalam proses pembelajaran, dapat menjadikan peserta didik : (1) jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun kekuatan dan kesadaran diri, mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab, (2) memantapkan diri, maju terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan, (3) membangun watak dan kewibawaan, meningkatkan potensi, dan mengintegrasikan tujuan belajar dalam tujuan hidupnya, (4) memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah (Mulyasa, 2005:165).
Selain pendapat Gardner dan Goelman, pendapat Anderson dan Krathwohl yang merevisi taksnominya Bloom tentang tipe pengetahuan meta kognitif adalah berkaitan dengan masalah kepribadian. Karena pengetahuan meta kognitif mencermati 2 (dua) aspek, yaitu (1) pengetahuan mengenai kognisi (pengertian) dan (2) kontrol, pemonitoran dan regulasi proses kognitif (Anderson & Krathwol, 2001:43). Dalam pengetahuan metakognisi ini sebagaimana model belajar konstruktivisme sosial Bandura, manusia dapat berpikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri sehingga mereka bukan semata-mata budak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, menurut Bandura belajar seseorang dipengaruhi pula oleh self estem dan regulasi diri (Alwisol, 2008:283).
Perkembangan pribadi manusia (selft-development) sebagai tujuan pendidikan merupakan komponen afektif paling inklusif yang mencakup nilai, moral dan etika, motivasi, dan kompetensi sosial. Nilai lebih inklusif dari pada sikap (attitude) dan berbeda dengan moral dan etika. Nilai berkenaan dengan penilaian terhadap sesuatu yang berharga atau bernilai, sedangkan moral dan etika berkenaan dengan penilaian tentang benar-salah (Martin & Briggs, 1986:447). Perkembangan nilai, moral dan etika berhubungan langsung dengan sikap seseorang. Sedangkan sikap tidak berhubungan secara langsung dengan motivasi dan kompetensi sosial, namun sikap berpengaruh terhadap pilihan seseorang, motivasi, dan juga prilaku sosialnya. Sikap bukanlah inti dari motivasi dan kompetensi sosial seseorang sebagaimana pada nilai serta moral dan etika. Martin dan Briggs menggambarkan bahwa kompetensi sosial, motivasi, nilai serta moral dan etika, memiliki garis lurus sebagai prerequisit bagi perkembangan pribadi seseorang (self development). Sedangkan interest merupakan prerequisit bagi motivasi seseorang. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini:














Gambar 9: Hubungan Sikap, Nilai, Moral dan Etika
Dari beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud kepribadian dalam penelitian ini adalah suatu sifat atau karakter seseorang yang dibentuk atas dasar faktor keturunan dan pengalaman hidup yang dilaluinya melalui proses interaksi dengan lingkungannya, sehingga ia memiliki prilaku tertentu dan membentuknya menjadi suatu jati diri, karakter atau kepribadian, baik yang mutmainnah, lawwamah atau yang ammarah. Adapun yang dijadikan indikator kepribadian dalam penelitian ini adalah: (1) memiliki kesadaran diri dan refleksi diri, (2) memiliki sikap jujur (kejujuran), (3) memiliki kedisiplinan, (3) memiliki rasa hormat dan tanggung jawab, (4) ulet dengan membangun inspirasi secara berkesinambungan, (5) meningkatkan potensi dengan mengintegrasikan tujuan belajar dalam tujuan hidupnya, dan (6) memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
3. Materi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam terkait erat dengan keimanan dan ketakwaan. Karena dasar dari pendidikan agama Islam itu berasal dari wahyu yang diyakini berasal dari Allah swt. Antara berbagai ilmu agama islam seperti Al-Qur’an, hadits, Akidah Akhlak, Ibadah/Syari’ah dan sejarah kebudayaan Islam satu sama lainnya saling berkaitan, walaupun secara teknis dibedakan satu dan yang lainnya. (Abudin Nata, 2005:7).
Pendidikan Agama Islam sebagai bidang studi yang diajarkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), ruang lingkup materinya meliputi: (1) Al-Qur’an dan hadits, (2) Aqidah, (3) Akhlak, (4) Fiqih, dan (5) Tarikh dan Kebudayaan Islam) (Direktorat PAI: 4). Menurut Hadjar (1999) bahwa materi pembelajaran Pendidikan Agama Islam dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Materi dasar, yaitu materi yang penguasaannya menjadi kualifikasi lulusan dari pembelajaran yang bersangkutan. Materi ini diharapkan secara langsung membantu terwujudnya sosok individu yang ideal. Materi tersebut diharapkan dapat mengantarkan mewujudkan dimensi keberagamaannya. Materi tersebut meliputi (a) ilmu tauhid (dimensi kepercayaan), (b) ilmu fiqih (dimensi prilaku ritual dan sosial), dan (c) ilmu Akhlak (dimensi komitemen).
2. Materi Sekuensial, yaitu materi penopang dalam mengembangkan lebih lanjut materi-materi dasar. Mater ini diharapkan mengantarkan pemelajar meningkatkan dimensi keberagamaannya dan sekalgus sebagai landasan pengokoh materi dasar. Materi ini meliputi (a) ilmu al-Qur’an (ilmu Tafsir dan ilmu Qiro’at), (b) ilmu hadits, dan (c) ilmu ushul fiqhi.
3. Materi Instrumental, yaitu materi yang dijadikan sebagai alat untuk menguasai materi dasar dan materi sekuensial. Materi ini secara langsung tidak dapat meningkatkan keberagamaan pemelajar. Akan tetapi digunakan untuk mempermudah pemahaman materi dasar dan sekuensial, seperti bahasa arab. Penguasaan materi bahasa arab akan mempermudah pemahaman materi dasar yang pada umumnya ditulis dalam bahasa arab, seperti al-qur’an dan hadits.
4. Materi pengembangan personal, yaitu materi yang tidak secara langsung dapat meningkatkan keberagamaan, tetapi mampu membentuk kepribadian yang sangat diperlukan dalam kehidupan beragama, seperti ilmu tarikh/sejarah. Materi ini diharapkan menanamkan nilai-nilai kepribadian yang dapat mendorong inividu untuk mengetahui dan memahami sebab terjadinya corak kehidupan, baik yang menguntungkan maupun merugikan (Irpan dan M.Jamil, 2003:81-83).
Masing-masing materi memiliki keterkaitan yang erat dalam ajaran Islam. Keterkaitan materi tersebut dapat dilihat dalam skema berikut:

ISLAM

Ibadah Sistematika Kehidupan
Syari’ah Muamalah
Akidah
Akhlak


Tarikh/Sejarah

Gambar 10: Skema Sistematika Ajaran Islam

C. Belajar Berbasis Sumber (BEBAS)
1. Konsep dan Jenis-jenis Sumber Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan anak didik untuk belajar, baik yang secara khusus dirancang untuk itu maupun yang secara alamiah tersedia di lingkungan setempat untuk dipakai. Sumber belajar menurut AECT (1977) meliputi semua sumber (data, orang, bahan dan barang) yang dapat digunakan oleh si belajar baik secara terpisah –pisah maupun dalam bentuk gabungan dari berbagai sumber, biasanya dalam situasi informal, untuk memberikan kemudahan belajar (Miarso, 1994:73)
Dalam arti luas, sumber belajar (learning resources) adalah segala macam sumber yang ada di luar seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar. Sumber-sumber belajar itulah yang memungkinkan kita berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak terampil menjadi terampil. Sehingga pencarian ilmu pengetahuan tersebut tidak harus “dipaksa” ibarat harus meminum pil pahit dari satu sumber, yaitu guru saja melainkan juga dari sumber-sumber lainnya sesuai dengan konteks tujuan dan kebutuhan kegiatan pembelajaran itu sendiri. Menurut Seels & Richey (1994:13), sumber belajar mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan menampilkan kompetensinya.
Ada berbagai jenis sumber belajar. Sumber-sumber itu meliputi pesan (messages) yaitu informasi yang ditransmisikan oleh komponen lain dalam bentuk ide, fakta, arti dan kata, orang (people) yaitu manusia yang bertindak sebagai penyimpan, pengelola dan penyaji pesan, bahan (materials) yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat atau oleh dirinya sendiri, peralatan (devices), yaitu perangkat keras yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan teknik (tekniques) yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk menggunakan bahan, peralatan, orang dan lingkungan untuk menyampaikan pesan. Contoh belajar permainan simulasi, belajar terprogram, demontrasi, dan lain-lain, dan latar (setting) yaitu situasi sekitar dimana pesan disampaikan, lingkungan bisa bersifat fisik (gedung, sekolah, perpustakaan, laboratorium auditorium, taman, dan lain lain) maupun non fisik (suasana belajar, dan lain lain) (Miarso, 1994:74-75). Dari beberapa jenis sumber belajar tersebut di atas, dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok jenis sumber belajar, yaitu :
a. Sumber belajar yang didesain (by design) yaitu sumber-sumber yang secara khusus dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional yang diharapkan dapat membantu kemudahan kegiatan belajar yang bersifat formal dan mempunyai tujuan tertentu.
b. Sumber belajar yang dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber-sumber yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan diterapkan dan digunakan untuk keperluan belajar.

2. Konsep dan Prinsip Belajar Berbasis Sumber
Pembelajaran Berbasis Sumber adalah sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran yang tidak memusatkan belajar pada guru (teacher centered learning), artinya jika tanpa guru tidak terjadi proses belajar. Melainkan belajar lebih berpusat pada siswa (learner oriented), sehingga siswa akan diperlakukan lebih aktif dalam proses pembelajaran. Murid dapat belajar dalam kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang sumber belajar yang khusus, bahkan di luar sekolah, bila ia mempelajari lingkungan yang berhubungan dengan tugas atau masalah tertentu. Belajar berdasarkan sumber (resource based learning) ialah segala bentuk belajar yang langsung menghadapkan murid dengan suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau kelompok dengan segala kegiatan belajar yang bertalian dengan itu. Jadi proses pembelajarannya tidak dengan cara yang konvensional di mana guru menyampaikan bahan pelajaran pada murid, tetapi setiap komponen yang dapat memberikan informasi, seperti perpustakaan, laboratorium, kebun, dan semacamnya juga merupakan sumber belajar (Sagala, 2008:65).
Belajar Berbasis Sumber adalah strategi pembelajaran dimana siswa membangun pemahamannya melalui interaksi dengan berbagai sumber belajar baik cetak, non-cetak, maupun orang (http://www.centralischool.ca/~bestpractice/resource/index.html). Jadi Pembelajarran Berbasis Sumber adalah: a) Berhubungan erat dengan inquiry learning, Project-Based Learning dan Problem-based Learning, b) Menyediakan kesempatan untuk mempraktikan kecakapan literasi, kecakapan berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan, c) Model belajar student-centred yang memberikan kesempatan untuk menemukan ilmu pengetahuan sendiri, dan d) Mempromosikan guru sebagai fasilitator dan pengarah (Lisa Campbell dalam http//projects.ceo.uga.edu/epltt/index.php?title=Resource Based Learning).
Menurut Miarso (2004: 107) Belajar Berbasis Sumber adalah akan memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik/warga belajar untuk memilih dan menentukan sendiri sumber yang digunakannya untuk belajar. Aneka sumber dimaksud adalah segala sesuatu baik yang sengaja dikembangkan, maupun yang telah tersedia, dan mengandung potensi untuk digunakan. Dengan demikian, dalam proses pembelajarannya guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas menumbuhkan motivasi, memberikan bantuan dalam pemilihan dan penentuan sumber belajar dan tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran, dan pada sisi yang lain peserta didik/warga belajar diharapkan menjadi lebih mandiri, belajar secara kooperatif dengan teman sejawat dan lingkungannya. Belajar Berbasis Sumber akan memunculkan proses dialogis antara guru dengan murid atau murid dengan murid yang akan bermuara pada munculnya sikap saling menghargai satu sama lain.
Dorrell (1993: xxii) mengatakan bahwa istilah Belajar Berbasis Sumber terkait dengan istilah lainnya. Penggunaan berbagai sumber belajarlah yang merupakan pendorong dikembangkannya sistem belajar terbuka, belajar jarak jauh dan belajar fleksibel, sehingga istilah Belajar Berbasis Sumber sebenarnya sudah tercakup di dalamnya. Menurut Brown & Smith (1996:1), sebenarnya istilah Belajar Berbasis Sumber bukanlah sesuatu yang baru karena siswa telah lama menggunakan sumber belajar seperti buku, kemudian terjadi peningkatan penggunaan media termasuk bahan-bahan belajar terbuka, petunjuk belajar, petunjuk buku teks, buku kerja, paket-paket video dan audio. Akibat perkembangan teknologi, dimungkinkan untuk menggunakan media canggih termasuk: computer-based learning packages, computer conferences, CD-ROM, multimedia, Computer-mediated discussion groups, interactive video discs, materials on the World Wide Web, teleconferencing, video-conferencing and telematics.
Proses belajar yang berbasis sumber mendorong siswa bersikap mandiri dan aktif mencari sendiri informasi yang diperlukan untuk belajar. Sedangkan dalam proses pembelajaran konvensional peserta didik lebih bersifat menunggu informasi yang diberikan oleh guru. Pembelajaran Berbasis Sumber digunakan untuk melengkapi pembelajaran yang lebih instruktif. Dalam pandangan Dorrell (1993:1-2), Belajar Berbasis Sumber memberikan beberapa keuntungan bagi si belajar, karena:
1. Memungkinkan untuk menemukan bakat terpendam pada diri seseorang yang selama ini tidak tampak. Tidak saja pada masa sekolah, tapi perkembangan terus berlanjut sepanjang hidup, memungkinkan perluasan wawasan dan harapan.
2. Dengan menggunakan sumber belajar, memungkinkan pembelajaran berlangsung terus menerus dan belajar menjadi mudah diserap dan lebih siap diterapkan. Ketrampilan dan pengetahuan meningkat secara bersamaan.
3. Seseorang dapat belajar: sesuai dengan kecepatannya, sesuai dengan waktunya sendiri dan waktu kerja, dan tanpa rasa takut akan persaingan, atau adanya orang lain (Big Brother) yang mengawasi.
Di samping beberapa keuntungan seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa keuntungan lain dalam Pembelajarran Berbasis Sumber yaitu :
1. Mengakomodasi siswa-siswa yang memiki cara belajar yang berbeda-beda, kemampuan, kebutuhan, interes, dan latar belakang pengetahuan. Siswa dapat belajar sesuai dengan selera. Sumber belajar dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa dan kemampuan.
2. Mempromosikan pertumbuhan problem solving, diskusi dan kecakapan evaluasi. Kegiatan seperti ini melatih siswa atas originalitas dan kreatifitas
3. Proses belajar mendorong siswa untuk bertanggung jawab dengan apa yang dipelajari. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berkesan karena siswa mengalami sendiri.
4. Memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menggunakan IT secara efektif
5. Siswa belajar bagaimana cara belajar. Karena siswa menjadi lebih mengetahui sesuatu, prilaku dan kecakapan siswa berkembang dan berguna dalam hidupnya (Elisna, 2003: 168-169).
Kelebihan pembelajaran dengan menggunakan berbagai macam sumber belajar ini adalah pada fleksibilitasnya serta pilihan yang dapat ditawarkan baik kepada guru maupun murid untuk mencapai tujuan pembelajaran. Nilai-nilai fleksibelitas model Belajar Berbasis Sumber tersebut adalah:
• Membuka kesempatan belajar yang lebih luas bagi anak yang ingin belajar dalam suasana belajar yang berbeda.
• Pada suasana tertentu, siswa lebih leluasa dalam belajar
• Mendorong anak untuk lebih kreatif, imajinatif dan memiliki sifat ingin tau
• Menawarkan kepada siswa dan guru ragam bahan belajar baik cetak maun non cetak.
• Menawarkan kepada guru dan siswa kesempatan untuk memilih lokasi atau tempat belajar baik di kelas, pusat-pusat belajar atau di masyarakat.
• Guru bisa beragam, baik guru kelas, staf perpustakaan atau kelompok masyarakat yang diundang.
• Mendorong siswa untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab hasil dari pilihannya tersebut. (Suzanne Robertson dalam http//www.sasked.gov.sk.ca)
Pembelajarran Berbasis Sumber menyediakan ragam pembelajaran bagi individu, mendorong integrasi ilmu pengetahuan, kecakapan, sikap pada setiap kurikulum dan dapat membantu setiap siswa untuk menjadi pribadi-pribadi yang kompeten, independen, pembelajar sepanjang hayat yang dapat membedakan kapan mengamati, membaca, mendengar dan berpikir, mengenali masalah, memformulasikan dan menguji hipotesis, memiliki banyak pertanyaan dan mencari jawabannya, menganalisis, mengeveluasi dan mencatat informasi, dan mengkomunikasikan temuan secara efektif dengan menggunakan ragam teknik dan sumber.
Dari beberapa pendapat di atas, maka yang dimaksud Belajar Berbasis Sumber dalam penelitian ini adalah aktivitas pembelajaran yang sumber belajarnya tidak hanya menggunakan guru dan buku sebagai satu-satunya sumber belajar PAI, melainkan menggunakan dan mengintegrasikan sumber belajar lainnya dalam pembelajaran, seperti al-qur’an terjemah, internet, LCD, komputer, Film, Lingkungan (lingkungan sekolah dan masyarakat), Tape Recorder, Manusia Sumber dan juga bahan ajar (handout).
3. Landasan Pembelajaran Berbasis Sumber
Pendidikan Agama adalah lebih banyak bersentuhan dengan hati (qalb) manusia. Oleh karena itu, pembelajarannya tidak efektif jika didekati dengan pendekatan kognitif saja, melainkan pendekatan afektif dan psikomotorik secara terintegrasi merupakan suatu keniscayaan. Pendekatan afektif dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran dalam pembentukan sikap mental peserta didik ke arah menumbuhkan kesadaran beragama. Afektif berarti sikap batin dan berkait dengan emosi seseorang, seperti perasaan suka, benci, simpati, antipati dan lain sebagainya. Sementara psikomotorik berarti menunjukkan implementasi dari pemahaman dan sikap yang telah dimiliki seseorang. Berkaitan dengan pendekatan pembelajaran integratif berarti mengharuskan adanya belajar dengan menggunakan aneka ragam sumber.
Dasar yang dijadikan landasan dalam Pembelajaran Berbasis Sumber adalah paradigma pembelajaran konstruktivis, yang berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Konstruktivisme menjadi landasan bagi pemanfaatan beragam media dalam pembelajaran, karena orang (guru) dan informasi tercetak (buku) bukan satu-satunya sumber informasi. pengalaman siswa tidak hanya diperoleh dari ruang kelas melalui interaksinya dengan guru dan buku, tetapi juga di luar kelas melalui interaksinya dengan lingkungan dan masyarakat social di sekitarnya (Pannen, 2005:33). Dengan demikian, pembelajaran terjadi di mana pun dan setiap saat melalui beragam media.
Pemikiran konstruktivistik tersebut nampaknya memberikan alternatif jawaban bagi guru PAI agar pembelajarannya mempunyai dampak yang bermakna (meaningfull) bagi setiap individu, karena pada pembelajaran yang berbasis konstruktivistik bahan sebuah pembelajaran harus menekankan pada keaktifan siswa (active learning) dalam menemukan hasil dari sebuah pembelajaran. Rangsangan gerak (active learning) dalam paradigma konstruktivistik ini menjadi sebuah landasan dalam pembelajaran PAI yang menekankan pada kebermaknaan pengetahuan, karena apabila sebuah pengetahuan itu tidak bermakna maka proses pembelajaran PAI tidak ada gunanya, fenomena ini sering kali dijumpai pada masyarakat kita, misalnya masyarakat tahu perbuatan korupsi tidak boleh, tetapi mereka tetap banyak yang melakukan, sholat tepat waktu adalah yang terbaik tetapi banyak juga yang melakukan solat di akhir waktu, atau bahkan meninggalkan solat (tarik al-solah), padahal mereka tahu bahwa hukum solat lima waktu adalah wajib.
4. Desain Pembelajaran Berbasis Sumber dalam Pembelajaran PAI
Dalam proses Pembelajaran Berbasis Sumber, ada tiga hal pokok proses perencanaan kegiatan pembelajarannya yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Bagaimana pebelajar melakukan kegiatan belajar. Belajar Berbasis Sumber memungkinkan setiap pebelajar melakukan kegiatan belajar sesuai dengan gaya belajar yang dimilikinya. Seperti dengan mendengarkan radio atau rekaman tape recorder untuk materi yang sesuai seperti belajar bahasa asing, dan juga menonton televisi.
2. Kemungkinan atau kesempatan belajar. Kesempatan belajar, karena bersifat individual maka seorang pebelajar dapat saja mengukur kapan waktu yang cocok untuk mereka. Apakah di waku pagi hari, siang atau sore hari.
3. Kemauan atau motivasi belajar. Kemauan atau motivasi untuk belajar adalah sangat penting. Tanpa motivasi yang tinggi prestasi belajar akan sulit dicapai walau tersedia berbagai aneka sumber belajar. Apalah artinya sebuah komputer yang canggih, laboratorium yang lengkap tanpa ada kegiatan dan juga apalah artinya alam dan lingkungan sekitar jika tanpa mengambil manfaatnya (Abdul Aziz dan etin Solihatin, 2003:155-156).
Ada beberapa model dalam desain pembelajaran, namun dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah desain pembelajaran model Castelle G. Gentry. Model tersebut terdiri dari dua kelompok/ komponen utama yaitu Development Component dan Supporting . Kedua komponen tersebut dihubungkan oleh adanya komunikasi. Komponen pengembangan terdiri dari 8 komponen yaitu : Need analysis, Adoptio, Design, Production, Prototyping, Installation, Operation, dan Evaluation. Sementara komponen-komponen pendukung (Supporting Component) terdiri dari lima komponen yaitu: Management, Information handling, Resource acquisition & allocation, Personnel dan Facilities. Menurut Gentry (1994) adanya perubahan pada satu komponen akan mengakibatkan perubahan pada komponen yang lain. Hubungan antara komponen pendukung dengan komponen pengembang dapat terjadi jika ada komponen komunikasi. Komunikasi dalam disain pembelajaran model Gentry memegang peranan yang penting karena akan menjembatani komponen pengembangan dan komponen pendukung. Masing-masing komponen mempengaruhi komponen yang lainnya. Masing-masing komponen di dalam desain ini mempunyai satu bentuk melingkar, hal ini menekankan bahwa model ini bukan linear. Tanda panah-panah antara komponen-komponen merepresentasikan bagaimana masing-masing komponen berbagi informasi dengan satu sama lain dalam mengirimkan dan menerima informasi.
D. METODOLOGI PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas 1 SMK Negeri 1 Kota Serang. Adapun waktu penelitiannya yaitu dari bulan Juli sampai dengan Desember 2009 yang dilaksanakan pada semester 1 (satu) tahun pelajaran 2009/2010.
2. Metode dan Pendekatan penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian tindakan (action research). Bentuk penelitian tindakan yang dilakukan adalah penelitian tindakan proaktif (proactive action research) yang diawali pengambilan tindakan berupa penerapan pendekatan Belajar Berbasis Sumber dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, kemudian melakukan pengumpulan, analisis, dan refleksi terhadap data yang terkumpul untuk menentukan apakah tindakan tersebut mencapai tujuan yang diharapkan, jika belum tercapai maka dilakukan modifikasi, melaksanakan tindakan kembali, modifikasi kembali, demikian seterusnya hingga tujuan tercapai.
Pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data adalah pendekatan mixed methods, yaitu penggunaan pendekatan baik kuantitatif maupun kualitatif dalam satu penelitian guna memahami masalah penelitian . Kombinasi penggunaan kedua pendekatan ini tidak hanya terbatas pada menggabungkan keduanya, akan tetapi memadukan kedua pendekatan tersebut sehingga datanya membaur. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan karena data yang dikumpulkan mencakup dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Dan menurut Greene dan Caracelli yang dikutip langsung oleh John W. Creswell bahwa dengan penggunaan pendekatan penggabungan memungkinkan peneliti mengembangkan gambaran yang kompleks tentang fenomena sosial.
Model penelitian tindakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Kemmis dan Mc. Taggart. Model ini menggunakan 4 (empat) langkah pendekatan, yaitu (a) perencanaan (planning), (b) tindakan (action), (c) pengamatan (observation), dan (d) Refleksi (Reflection). Keempat langkah tersebut membentuk suatu spiral, sehingga perencanaan kedua dipengaruhi oleh perbaikan dari putaran/siklus pertama. Siklus adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus yang dilaksanakan akan sangat bergantung kepada permasalahan yang perlu diselesaikan
3. Instrumen Pengumpul Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik, yaitu: pengukuran skala kepribadian dan afektif siswa, observasi, angket, wawancara, dan tes hasil belajar. Tes skala kepribadian digunakan untuk mengukur efektifitas pembelajaran PAI dengan menerapkan pendekatan Belajar Berbasis Sumber. Rentangan nilai dari masing-masing item pada indicator kepribadian tersebut diberikan skor sebagai berikut: 3 = Tinggi, 2 = Sedang, dan 1 = Rendah. Maksud dari masing-masing skor tersebut adalah jika jumlah skor jawabannya tinggi berarti kategori kepribadiannya termasuk dalam kategori baik (mutmainnah), Sedangkan yang sedang berarti kategori kepribadian sedang (lawwamah) dan yang rendah berarti berkepribadian buruk (ammarah).
Observasi dilakukan untuk mengetahui tentang sejauh mana rencana tindakan telah dilaksanakan secara efektif dapat memberikan efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan tindakan tersebut sesuai dengan perencanaan tindakan, baik bagi siswa, guru, maupun sistem pembelajaran secara keseluruhan. Observasi dilaksanakan oleh peneliti dan guru yang terlibat sebagai kolaborator dengan menggunakan pedoman observasi. Wawancara dilakukan terhadap guru untuk memperoleh data tentang pendapat guru tentang efektivitas dan efesiensi pendekatan Belajar Berbasis Sumber yang dipergunakan serta kendala yang dirasakan dalam proses pelaksanaannya. Angket digunakan untuk memperoleh komentar dan tanggapan dari siswa sebagai partisipan tentang efektivitas dan daya tarik desain dan bahan pembelajaran yang disusun dan digunakan guru, yang meliputi: pemahaman terhadap materi pelajaran, sistematika isi bahan, prosedur pembelajaran dan strategi pembelajaran yang dipilih (langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar, metode, dan media), serta tes yang digunakan. Tes hasil belajar dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari penggunaan pendekatan Belajar Berbasis Sumber dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dilihat dari tingkat penguasaan terhadap tiap-tiap materi pelajaran yang diberikan. Tes dilaksanakan pada setiap akhir pembelajaran. Adapun jawaban tes ini hasilnya diberikan skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban yang salah
4. Analisis Data
Adapun analisis datanya dilakukan melalui analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap data-data kuantitatif yang terkumpul melalui tes hasil belajar dan angket. Pengolahan datanya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan terhadap data-data kualitatif yang terkumpul melalui observasi dan wawancara.
E. HASIL PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 13 sampai dengan 21 Maret 2009 ditemukan beberapa fakta bahwa: a) Pembelajaran PAI masih belum mencapai hasil yang diharapkan, b) Salah satu kekurang berhasilan pembelajaran PAI adalah karena kurang tepatnya pendekatan yang digunakan guru yaitu guru masih menjadi sumber utama pembelajaran; dan c) Tujuan pembelajaran masih banyak berorientasi penguasaan kognitif.
Adapun hasil wawancara dengan guru, siswa dan kepala sekolah yang dilakukan bersamaan saat kegiatan observasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa : a) Proses pembelajaran yang berlangsung dilakukan lebih banyak satu arah dan terpusat pada guru (teacher centred); b) Latar belakang pendidikan siswa menjadi salah satu kendala dalam penguasaan materi baca tulis al-qur’an, dan juga penghayatan serta ketertarikan dalam mempelajari materi PAI; c) Sumber belajar yang tersedia untuk pembelajaran PAI masih terbatas; d) Motivasi dan minat siswa terhadap pelajaran PAI masih rendah; e) Perhatian orang tua terhadap keberhasilan belajar PAI masih rendah; dan f) Sumber daya manusia guru agama belum semuanya dapat menguasai penggunaan teknologi informasi dengan baik.
Berdasarkan hasil analisis fakta dan wawancara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada kebutuhan bagi sekolah dan guru untuk menyediakan sumber belajar yang beraneka ragam dan pendekatan pembelajaran yang inovatif dan bermakna agar dapat meningkatkan keberhasilan pembelajaran PAI.
2. Data Siklus 1
Dari hasil pengamatan terhadap implementasi tindakan pada siklus 1, diperoleh data sebagai berikut: a) Guru belum mampu menerapkan pendekatan Belajar Berbasis Sumber sesuai dengan desain pembelajaran yang telah disusun; b) Siswa masih cenderung pasif, karena waktu belajar banyak didominasi oleh guru untuk menjelaskan materi, di samping tidak semua siswa memiliki buku sumber yang dianjurkan guru (seperti buku LKS, Qur’an Terjemah); c) Tujuan pembelajaran belum dapat tercapai secara memuaskan, walapun materi masih banyak berorientasi pada penguasan kognitif (hafalan terhadap materi); d) Suasana kelas kurang dinamis, karena desain kelas masih dipolakan satu arah. Dan terkadang pembelajaran sudah dimulai tetapi masih ada beberapa siswa yang berbicara (ngobrol) dengan temannya; dan e) Proses pembelajaran melalui pendekatan Belajar Berbasis Sumber masih belum difahami sebagai proses untuk lebih mendorong kesadaran, tanggung jawab dan kemandirian siswa dalam menggali pengetahuan, pemahaman dan aplikasi ilmu pengetahuan yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat meningkatkan kepribadiannya.
Hasil tes belajar yang dilakukan pada siklus 1, diperoleh data sebagai berikut: a) Pada materi Al-Qur’an Surat ِAl-Baqoroh ayat 30, Qs. Az-Dzariyat ayat 56 dan Al-Hajj ayat 5 skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 8 dan skor terendah pada nilai 4; b) Pada materi Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 162-163 dan Al-Bayyinah ayat 5 skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 7 dan skor terendah pada nilai 4; dan c) Pada materi Keimanan tentang Pemahaman Sifat-sifat Allah dalam Asmaul Husna, skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 8 dan skor terendah pada nilai 5.
Hasil penilaian afeksi siswa pada siklus 1 diperoleh data bahwa minat siswa terhadap pelajaran PAI dikategorikan sedang, karena dari rata-rata nilai sedang mendapatkan skor yang paling tinggi yaitu 55.69%, sementara untuk minat tinggi mendapatkan skor 44.30% dan yang rendah tidak ada. Adapun nilai motivasi berprestasi siswa terhadap pembelajaran yang mendapatkan skor tertinggi yaitu pada skor motivasi berprestasi sebesar 96.26%. Artinya bahwa masing-masing siswa dalam pembelajaran telah memiliki motivasi berprestasi yang tinggi
Hasil pengukuran terhadap kepribadian siswa pada siklus 1, diketahui rata-rata skor kepribadian siswa sebelum pelaksanaan siklus 1 adalah 53,22 dan setelah siklus 1 adalah 54,42. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan kepribadian yang signifikan pada diri siswa dibandingkan sebelum dan sesudah memperoleh tindakan pembelajaran PAI dengan pendekatan Belajar Berbasis Sumber.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap hasil pengamatan, tes hasil belajar, penilaian afektif, evaluasi proses pembelajaran, dan skala kepribadian, maka dapat disimpulkan bahwa hasil implementasi tindakan yang diperoleh masih belum mencapai hasil yang maksimal, karena itu kemudian perlu dilakukan siklus 2. Belum maksimalnya hasil siklus 1 tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1) Persentase relevansi antara desain tindakan yang disusun dengan implementasinya masih berada di bawah 70%, dan berdasarkan penilaian siswa terhadap proses pembelajaran tersebut berada pada kategori sedang (sebanyak 62.60%); 2) Proses belajar dengan menggunakan Berbasis Sumber yang dilakukan oleh siswa belum maksimal, karena dalam pelaksanaan pembelajarannya masih terpusat pada guru sebagai sumber utama, sehingga waktu yang diberikan kepada siswa sangat terbatas. Di samping itu siswa juga merasa banyak kendala untuk melaksanakan tugas yang diberikan guru melalui sumber yang mereka tidak miliki; 3) Tingkat penguasaan materi dari segi kognitif masih belum memuaskan, karena tingkat penguasaan siswa pada materi pelajaran masih ada yang mendapatkan skor nilai 4 dan 5; dan 4) Peningkatan kepribadian siswa sebagai efek dari pembelajaran dapat dikategorikan sedang, karena nilai rata-ratanya berada pada skor 54,42.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab belum maksimalnya hasil tindakan yang dilakukan pada siklus 1, antara lain adalah: 1) Faktor guru, yaitu komitmen dan penguasaan guru terhadap pelaksanaan pendekatan Belajar Berbasis Sumber yang diterapkan masih kurang memadai, karena masih ada guru yang belum mampu menggunakan sumber belajar lain selain buku dan dirinya. Selain itu, guru juga masih kurang dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa dalam pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar lain selain guru dan LKS; 2) Faktor sarana, yaitu sumber yang akan digunakan untuk mendukung terlaksananya proses Belajar Berbasis Sumber masih mendapatkan kesulitan, karena buku yang tersedia diperpustakaan, media/alat peraga pembelajaran, ruang laboratorium juga sangat terbatas, di samping kemampuan siswa untuk dapat mengakses dan memiliki sumber belajar yang dianjurkan guru juga masih kurang; 3) Faktor instrumen observasi yang digunakan, yang dinilai masih belum memadai karena belum mencakup semua unsur yang akan diamati dalam proses penerapan pendekatan Belajar Berbasis Sumber; dan 4) Faktor perhatian orang tua terhadap proses pembelajaran siswa yang kurang memadai juga berdampak pada rendahnya perhatian siswa dalam pembelajaran PAI, sehingga siswa kurang terpacu dalam pemanfaatan waktu belajar di luar sekolah.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, maka dilakukan perbaikan desain tindakan maupun perencanaan proses implementasinya pada siklus 2. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan adalah: 1) Melakukan diskusi ulang dengan guru yang menjadi kolaboran dalam penelitian ini untuk lebih berkomitmen dan meningkatkan penguasaannya terhadap pendekatan Belajar Berbasis Sumber; 2) Melakukan perbaikan instrumen observasi; 3) Kelas yang menjadi objek penelitian atau intervensi tindakan sebanyak 3 kelas yaitu kelas X AK3, Ak4 dan MM2, yang semula 4 kelas; dan 4) Masing-masing materi diajarkan oleh tiga orang pelaku tindakan untuk masing-masing kelas yang berbeda.
3. Data Siklus 2
Dari hasil observasi terhadap implementasi tindakan pada siklus 2, diperoleh data sebagai berikut: a) Pelaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Belajar Berbasis Sumber sudah mengalami peningkatan, yaitu rata-rata 80% sudah relevan dengan desain pembelajaran yang telah dirancang; b) Tujuan pembelajaran yang dicapai sudah meningkat walaupun masih dalam kategori cukup atau sedang; c) Siswa sudah terlibat aktif dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas, guru juga terlihat antusias dalam memberikan pembelajaran; dan d) Suasana pembelajaran siswa mulai nampak dinamis dan antusias, terlebih ketika mereka diberikan tugas-tugas mandiri untuk mengakses internet dan belajar dari lingkungan sekitar.
Hasil tes belajar siswa pada siklus 2 diperoleh data bahwa pada materi Akhlak, skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 8 dan skor terendah berada pada nilai 6; materi Fiqih, skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 9, skor terendah pada nilai 6; dan materi SKI, skor tertinggi yang dicapai siswa adalah nilai 9 dan skor terendah pada nilai 6. Dengan demikian bahwa penguasaan siswa terhadap semua materi pelajaran termasuk dalam kategori sedang (cukup), karena ada peningkatan perolehan rata-rata nilai pada siklus 2 yaitu skor terendah dengan nilai 6 dan yang tertinggi 9, walaupun belum 100%.
Berdasarkan hasil penilaian afeksi dapat dikatakan bahwa minat siswa pada pelajaran PAI terjadi peningkatan, karena skor nilai tertinggi dari hasil penilaian afeksi tersebut berada pada kategori minat tinggi dengan skor rata-rata sebesar 66.99%. Sementara untuk motivasi berprestasi dalam pembelajaran seluruhnya (100%) memiliki skor tinggi.
Adapun hasil dari pengukuran kepribadian pada siklus 2, diketahui bahwa rata-rata skor kerpibadian siswa sebelum pelaksanaan siklus 2 yaitu 56.49 dan setelah siklus 2 adalah 56.89. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan kepribadian yang signifikan pada diri siswa dibandingkan sebelum dan sesudah memperoleh tindakan pembelajaran PAI dengan pendekatan Belajar Berbasis Sumber.
Berdasarkan hasil refleksi terhadap hasil pengamatan dan hasil evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan pada siklus 2, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan perencanaan yang telah disusun sebelumnya dan telah mencapai hasil seperti yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu peningkatan keberhasilan pembelajaran PAI, baik dilihat dari indikator tercapainya peningkatan kepribadian siswa maupun dari indikator efektivitas, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap cukup sehingga tidak dilakukan siklus selanjutnya.
4. Pembahasan Hasil Penelitian
Penggunaan pendekatan belajar berbasis sumber dinilai cukup efektif untuk meningkatkan keberhasilan tujuan pembelajaran PAI, di antaranya yaitu dalam peningkatan kepribadian siswa. Tingginya kepribadian awal siswa sebelum diadakan tindakan tersebut, menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki peserta didik di SMK ini cukup baik. Hal ini berarti bahwa keberhasilan pembelajaran akan bergantung pada proses pembelajaran yang dilakukan, disamping memerlukan adanya dukungan dari lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakatnya. Pandangan ini sebagaimana pendapat Piaget yang dikutip Semiawan (1999:121), bahwa keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kematangan (dari dalam, maturity), pengalaman individual dalam lingkungan tertentu seseorang itu tumbuh yang juga mendapatkan stimulus tertentu secara kebetulan diperoleh, transmisi social (baik sosialisasi melalui pendidikan maupun di luar sekolah), pengarahan diri secara internal dan pengaturan diri). Atas dasar pendapat Piaget tersebut, kiranya tepat apabila siswa yang mengikuti pembelajaran PAI dalam proses pembelajarannya menggunakan pendekatan belajar berbasis sumber. Karena proses pembelajarannya mendukung pada adanya keterlibatan faktor-faktor di atas.
Pentingnya pembelajaran berbasis aneka sumber pada pelajaran PAI disebabkan oleh suatu kenyataan yang menurut pendapat Komarudin Hidayat sebagaimana yang dikutip Muhaimin (2001:91) bahwa pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi prilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. Sementara menurut Mochtar Buchori bahwa kegagalan pendidikan agama disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan aspek afektif dan konatif solutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.
Pembelajaran PAI dengan berbasis sumber ini menjadi efektif dikarenakan belajar PAI tidak hanya sekedar siswa harus tahu tentang agama dan dia melakukan ajaran agamanya karena diperintahkan oleh orang lain. Jika hal ini terus terjadi, maka yang ada adalah siswa melakukan kewajiban agamanya ketika ada orang lain mengawasi dan memerintahkan. Kondisi ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran PAI yang menghendaki adanya keyakinan, penghayatan dan pengalaman agama atas dasar kesadarannya. Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Nyayu Khadijah (2008:202), bahwa religiusitas siswa dalam pembelajaran PAI dapat ditingkatkan melalui belajar refleksif. Pandangan ini sebagaimana teori perkembangan kognitif Piaget tentang bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya. Ini berarti anak memainkan peran aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas, sehingga anak tidak pasif menerima informasi.
Penerapan belajar berbasis sumber cukup efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran PAI. Karena guru tidak lagi mendominasi pembelajaran terutama dalam penjelasan materi, melainkan siswa diberikan keleluasaan untuk mempelajari materi dari berbagai sumber, sehingga pemahaman terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang diajarkan pada pembelajaran PAI akan lebih terinternalisasi. Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip belajar berbasis sumber yang memiliki beberapa manfaat seperti (a) menemukan bakat yang terpendam yang selama ini tidak nampak, (b) menggunakan sumber-sumber yang memungkinkan pembelajaran berlangsung sepanjang tahun, dan dapat menyeimbangkan antara keterampilan dan pengetahuan, (c) seseorang dapat belajar sesuai dengan kondisinya, pada waktu belajar dan waktu kerja, tanpa rasa cermat dalam persaingan (Ab.Aziz & Etin Solihatin, 2003:156). Prinsip tersebut tentunya juga sebagaimana paradigma pembelajaran konstruktivis yang berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya.
Penerapan belajar berbasis sumber menjadikan pembalajaran PAI menjadi menarik bagi siswa. Hal ini dikarenakan siswa tidak lagi merasa “terpenjara” dalam pembelajaran di kelas, melainkan ia diberikan kebebasan untuk berekspresi (berpikir dan berpendapat) melalui pemahaman dan pengalamannya serta mengeksplorasi apa yang belum ia ketahuinya dengan cara menemukan dan mengalaminya sendiri. Hasil dari yang ia lakukan itu kemudian didiskusikan dengan sesama teman dan guru PAI. Dengan demikian, pendekatan belajar berbasis sumber memberikan peluang yang besar bagi peningkatan keberhasilan pembelajaran yang berhubungan dengan tanggung jawab diri dan kemandirian siswa sebagai bentuk penanaman nilai kepribadian dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Karena belajar berbasis sumber adalah segala bentuk belajar yang langsung menghadapkan murid dengan suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau kelompok dengan segala kegiatan belajar yang bertalian dengan itu (Sagala, 2008:65). Jadi proses pembelajarannya tidak dengan cara yang konvensional di mana guru menyampaikan bahan pelajaran pada murid, tetapi setiap komponen yang dapat memberikan informasi, seperti perpustakaan, internet, lingkungan, dan semacamnya juga merupakan sumber belajar. Dengan demikian, belajar berbasis sumber membantu siswa dalam membentuk pemahaman dan kesadaran yang baik tentang apa yang dipelajari.
5. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tentunya tidak lepas dari beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut di antaranya adalah:
a. Keterbatasan Waktu. Idealnya, untuk dapat melihat perkembangan kepribadian (muslim) siswa dalam pengamalan nilai-nilai dari hasil pembelajaran PAI adalah mengamatinya dalam kehidupan sehari-hari. Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan. Kondisi ini tentunya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pengamatan terhadap seluruh prilaku siswa dalam pembelajaan di kelas maupun di luar kelas. Keterbatasan waktu juga menjadi faktor kurang optimalnya pelaksanaan pembelajaran berbasis aneka sumber di dalam kelas.
b. Keterbatasan Sarana dan Fasilitas Pembelajaran. Keberhasilan implementasi pembelajaran berbasis aneka sumber adalah bergantung pada adanya dukungan sarana dan fasilitas pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan sekolah dan para siswa. Jadi bukan merupakan kondisi ideal. Oleh karena itu, kurangnya ketersediaan sarana dan fasilitas pembelajaran menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.
c. Keterbatasan Kemampuan. Kemampuan yang dimaksud dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu kemampuan biaya dan pengetahuan. Biaya merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan tindakan penelitian ini. Biaya yang dimaksudkan adalah baik biaya yang disediakan peneliti, sekolah maupun siswa itu sendiri sebagai partisipan penelitian. Sebagaimana keterbatasan pada faktor-faktor yang lainnya, keterbatasan kemampuan peneliti dan juga guru yang menjadi kolaboran dalam penelitian adalah berpengaruh terhadap optimal tidaknya implementasi desain pembelajaran berbasis aneka sumber ini. Ukuran keberhasilannya pun, seperti yang tercermin dalam instrumen penelitian, terbatas pada hal-hal yang esensial dan dipahami oleh para guru dan siswa, termasuk di dalamnya adalah yang terkait dengan penggunaan instrumen untuk mengukur kepribadian siswa sebagai salah satu indikator keberhasilan pembelajaran PAI, dan juga skala penilaian afeksi siswa. Instrumen tersebut belum menjadi instrumen baku. Sehingga dapat pula berdampak pada hasil yang diperoleh belum ideal.
d. Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hanya terbatas pada sifat yang menggambarkan tentang kepribadian muslim tidak menyangkut secara keseluruhan makna kepribadian secara murni dalam terminologi ilmu psikologi.
e. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada proses pembelajarannya, bukan pada keseluruhan sistem pembelajaran PAI. Karena materi/isi kurikulumnya adalah mengacu pada yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama dan Standar Isi mata pelajaran PAI di SMK itu sendiri.

F. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Keberhasilan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) yang ditandai dengan peningkatan kepribadian siswa ternyata dapat ditingkatkan melalui penggunaan pendekatan Belajar Berbasis Sumber;
2. Penerapan pendekatan Belajar Berbasis Sumber dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tampak dari adanya peningkatan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran pada siklus 1 ke siklus 2, dan juga pada hasil penilaian afeksi siswa;
3. Penerapan pendekatan Belajar Berbasis Sumber dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, karena guru sudah tidak lagi mendominasi pembelajaran yang berarti energi guru akan berkurang dan akan lebih banyak untuk membimbing siswa;
4. Penerapan pendekatan Belajar Berbasis Sumber juga dapat meningkatkan daya tarik siswa terhadap pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tampak dari hasil pengamatan dan evaluasi proses pembelajaran siswa.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran PAI dengan menerapkan belajar berbasis sumber, menempatkan guru bukanlah satu-satunya sumber belajar melainkan meniscayakan ketersediaan sumber belajar yang lainnya. Ketersediaan sumber belajar tersebut memerlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sekolah.
2. Desain pembelajaran PAI berbasis sumber disusun dengan mengarahkan pada belajar aktif, kreatif, inovatif, dan partisipatif. Oleh karena itu, komitmen guru dalam penggunaan ragam sumber belajar (terutama teknologi) dan pemahamannya tentang landasan belajar berbasis sumber sangat penting.
3. Belajar berbasis sumber dalam materi PAI dapat dimodifikasi atau dikembangkan lebih lanjut dalam proses pembelajaran mata pelajaran lainnya.
4. Perlu adanya dukungan kebijakan, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama, agar dapat terselenggara pembaharuan dalam pembelajaran PAI dan mata pelajaran lain.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Guru, hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan salah satu model pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan keberhasilan pembelajarannya. Guru hendaknya dapat memanfaatkan dan mengembangkan pendekatan Belajar Berbasis Sumber dalam pelaksanaan proses pembelajarannya, sehingga guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber dalam belajar;
2. Bagi Sekolah, Pembelajaran dengan Belajar Berbasis Sumber meniscayakan adanya dukungan seluruh pemangku kepentingan sekolah terutama dari kepala sekolah dalam hal ketersediaan sarana dan fasilitas pendukung lainnya maupun keleluawasaan guru dalam mengelola proses pembelajarannya. Karena orientasi pembelajaran PAI memerlukan integrasi dari ranah kognitif, afektif dan psikomotorik dalam melihat hasil belajarnya;
3. Bagi siswa, hendaknya belajar tidak dimaknai terjadi di dalam kelas semata dan harus dengan guru saja sebagai satu-satunya sumber belajar. Belajar dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta dengan apa dan siapa saja. Prinsip belajar dengan Berbasis Sumber lebih mendorong ke arah itu;
4. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya dilakukan penelitian pengembangan lebih lanjut dengan melibatkan berbagai aneka sumber untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran yang lebih efektif, efesien dan memiliki daya tarik bagi siswa, sehingga belajar PAI akan lebih bermakna dan dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam belajar.


G. DAFTAR PUSTAKA
Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang, UMM Press, 2008, edisi revisi
Anderson W.Lorin dan Krathwohl R. David, A Taxonomy for Learning Teaching and Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. (New York, Longman, 2001
Anonimous, Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem pendidikan Nasional Jakarta, Fokus Media, 2003
__________, Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran PAI Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, Jakarta, Depdiknas, 2003
__________, Direktorat PAI pada Sekolah, Standar Isi, Standar Kelulusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta, Dirjen Pendis, Depag RI, 2008
Arifin, H.M, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta, Bumi Aksara, 1991
Aziz, Abd, dan Solihatin,Etin, Belajar Berbasis Sumber dalam Teknologi Pembelajaran, Upaya Peningkatan Kualitas dan Produktivbitas Sumber Daya Manusia, Jakarta, UT, 2003
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos, 2002
Barbara L. Martin and Leslie J. Briggs, The Affective and Cognitive Domain: Integration for Intsruction and Research, New Jersey, Educational Technology Publication, 1986
Bell Gredler, E. Margaret, Belajar dan Membelajarkan, Jakarta, Raja Grafindo, 1994, cet II
Campbell, Lisa et, all, Resources Based Learning: From Emerging Perspective on Learning, teaching and Technology: http//projects.ceo.uga.edu/epltt/index.php?title=Resource Based Learning
Creswell,John W, Educational Research:Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research,Third Edition, New Jersey, 2008
Darajat, Zakiah, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996
____________, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1989
Dharma,Surya, Kriteria dan Indikator Keberhasilan Pembelajaran, Jakarta, Ditjen PMPTK, 2004Depdiknas, Kajian Kebijakan Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi III, 2005
Dorrell, Julie, Resource Based Learning, London: Mc.Graw-Hill Book Company, 1993
El-Mubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang tercerai, Bandung, Alfabeta, 2008
Elliot, John, Action Research for Educational Change, Philadelphia: Open University Press, 1991
Elisna, Belajar Berbasis Sumber: Peluang dan Tantangan Bagi Pendidik dalam Teknologi Pembelajaran, Upaya Peningkatan Kualitas dan Produktivbitas Sumber Daya Manusia, Jakarta, UT, 2003
Gafar Abd. Irpan dan Jamil,Muhammad, Re-formulasi Rancangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Panduan Dosen, Guru dan Mahasiswa), Jakarta, Nur Insani, 2003.
Gagne, M.Robert and . Briggs, J Leslie, Principles of instructional Design, New York, Holt, Rinehart and Winston, 1978, second edition
Gall, D. Meredith, Gall, P. Joyce, dan Borg, R.Walter, Educational Research An Introduction, Seventh edition, USA: Pearson Education, Inc., 2003
Gentry, G. Castelle, Introduction to instructional development: Process and technique, Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1994
Hamalik,Omar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta, Bumi Aksara, cet.kelima, 2005Harefa, Andreas, Menggagas Paradigma Pembelajar, Jakarta, PT. Media Kompas Nusantara, 2003.
Hamzah, Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme : http://syaifullaheducationinformationcenter.blogspot.com/2008/10/teori-konstruktivisme-dalam.html
Harefa, Andreas, Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Media Kompas Nusantara, 2003
http://en.wikipedia.org/wiki/Eysenck_Personality_Questionnaire" Category: Personality tests
http://www.projects.coe.ega.edu/epltt/index.php?title=Resources Based _Learning”
http://www.centralischool.ca/~bestpractice/resource/index.html
Kember, David, Action Learning and Action Resarch: Improving The Quality of Teaching and Learning, British Library Cataloguing in Publication Data, London, First Publisehd, 2000
Khodijah, Nyayuk, Peningkatan Keberhasilan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan Pendekatan Belajar Reflektif, Disertasi, Jakarta, UNJ, 2006
Lubis, Mawardi, Evaluasi Pendidikan Nilai: Perkembangan Moral Keagamaan Mahasiswa PTAIN, Jogjakarta, Pustaka Pelajar , 2008
Martin L. Barbara and Briggs, J.,Leslie, The Affective and Cognitive Domain: Integration for Intsruction and Research, New Jersey, Educational Technology Publication, 1986
Miarso, Yusufhadi, dkk, Definisi Teknologi Pendidikan, Satuan Tugas Definisi dan Terminologi AECT, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994, cet II
Miarso, Yusufhadi, Laporan Penelitian, Survei Model Pengembangan Instruksional, Jakarta, Ditjen Dikti dan PAU, 1988
_______________, Peran Profesi Teknologi Pendidikan. Makalah seminar: Jurusan KTP Universitas Baturaja, Bandung: Trigenda Karya, 1993
_______________, Action Research di Perguruan Tinggi, Makalah Seminar Penelitian IBII, Jakarta, 24 Mei 2005
_______________, Teknologi yang Berwajah Humanis, Makalah Seminar Internasional dan Temu Ilmiah FIP/JIP se Indonesia, 21-23 Agustus, Manado,2007
_______________, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta, Prenada Media, 2007, cet. ketiga
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Kerangka Dasar dan Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993
Muhaimin, et, all, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan di Sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001
Mujib, Abdul Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005
Munandir, Kondisi dan Teori Pembelajaran, Jakarta, Dikbud, 1990
Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Grasindo, 2001
Pannen, Paulina, Konstruktivisme Dalam Pembelajaran, Jakarta, PAU-UT, 2005
Pusat Kurikulum, Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Balitbang, 2007
Reigeluth, Charles M., (Ed), Instructional Design, Theories and Models: An Overview of Their Current Status, Volume I, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1983
________________, Instructional Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status, Volume II, New Jersey: Lawrence Elbaum Associates Publisher, Inc,1998
________________, Instructional Design, Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, Volume III, New Jersey, LEA, 1999
Robertson, Suzanne, A Pragmatic Look at Some of the Issues Faced by Those Who Seek to Produce and Deliver Resource Based Learning (RBL) in Higher Education, University of Sunderland,UK (1996): http//www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/rbl/copyright.html
Ryckman, M.Richard, Theories of Personality, USA, Thomson Corporation, 2008, ninth edition
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran untuk memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung, Alfabeta, 2008, cet. ketujuh
Sally, Brown, & Smith, Brenda, Resource-based Learning, London: Kogan Page Limited, 1996
Semiawan, R. Conny, Memupuk Bakat dan Minat Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Jakarta: Gramedia, 1983
_______________, Landasan Pembelajaran Dalam Perkembangan Manusia, Jakarta, CHCD, 2007
Seels B.Barbara dan Richey, C Rita. Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya, Jakarta, Unit Percetakan UNJ, cet.III, 1994
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, peran Moral, Intelektual, emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integrasi membangun jati Diri, Jakarta, Bumi Aksara, 2006Snelbecker, E, Gleen, Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design, New York, McGraw-Hill Book Company, 1974
Snelbecker Gleen E, Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design, (New York, McGraw-Hill Book Company, 1974)
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999 cetakan keempat
Stringer, T.Ernest, Action Research, Second Edition, London: Sage Publications, 1999
Sukmadinata, Saodih, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, Rmeaja Rosdakarya, 2003
Sulaiman, Hasan, Fathiyah, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta, Dea Press, 2000
Suparno,Paul, Guru Demokratis di Era Reformasi, Jakarta, Grasindo, 2004
Susetya, Wawan, Personality Quotien:,Bagaimana Mencapai dan Melejitkan Kecerdasan Kepribadian agar Anda Dicintai Allah SWT dan Orang-orang di Sekitar Anda Sekaligus, Jogjakarta, Diva Press, 2008Sutikno, M. Sobry, Model Pembelajaran Interaksi Sosial, Pembelajaran efektif dan retorika, Mataram, NTP Press, 2004
Thomas M. Duffy dan Donald J. Cunningham, Constructivism: Implication for The Design and Delivary of Instruction, dalam David H. Jonassen (Ed),
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi): Sumbangan Psikologi Pembelajaran terhadap Peningkatan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005), edisi Revisi
Woolfolk, Anita, Educational Psychology, USA, Pearson, Ninth Edition,2004
Yusuf, Syamsu, dan Nurihsan, Juntika A., Teori Kepribadian, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007
Zuhriah, Nurul Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti secara Kontektual dan Futuristik, Jakarta, Bumi Aksara, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar